9 Emiten Saham Ini Belum Ngasih Laporan Keuangan dan Kena Denda Ratusan Juta Rupiah

Emiten Saham(Pixabay)

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat ada sembilan perusahaan tercatat (emiten) yang tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan keuangan sampai batas waktu 29 September 2019, sehingga terancam mendapat sanksi dari BEI. 

Adapun kesembilan emiten tersebut mendapatkan surat peringatan III serta denda Rp 150 juta. “Sembilan perusahaan tercatat tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan keuangan yang berakhir per 30 Juni 2019 yang tidak diaudit dan ditelaah secara terbatas oleh akuntan publik,” tulis BEI dalam keterbukaan informasi, Rabu (9/10).

Sembilan perusahaan tersebut adalah,

1. PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA)

2. PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN)

3. PT Bakrieland Development Tbk (ELTY)

4. PT Golden Plantation Tbk (GOLL)

5. PT Sigmamold Inti Perkasa (TMPI)

6. PT Sugih Energy Tbk (SUGI)

7. PT Nipress Tbk (NIPS)

8. PT Cakra Mineral Tbk (CKRA)

9. PT Evergreen Invesco Tbk (GREN)

Selain itu, dua emiten tercatat mendapatkan Surat Peringatan I, II, dan II. Sehingga denda yang harus dibayar sebesar Rp 200 juta. Perusahaan tersebut yaitu PT Buana Lintas Lautan Tbk (BULL) dan PT Central Omega Resources Tbk (DKFT).

Keduanya menyampaikan laporan keuangan yang tidak ditelaah secara terbatas dan tidak diaudit lewat dari 29 September 2019. Adapun dua emiten pertambangan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Timah Tbk (TINS) dikenakan peringatan tertulis II dan denda Rp 50 juta. Itu karena belum menyampaikan laporan keuangan yang ditelaah secara terbatas.

3 Emiten Terancam Delisting

Sementara itu otoritas akan menghapus pencatatan saham (delisting) dari pencatatan Bursa Efek Indonesia. Hal itu salah satunya dikarenakan adanya penghentian perdagangan efek (suspensi) perusahaan dan tidak adanya kepastian keberlangsungan usaha perseroan. 

BEI menghapus pencatatan saham (delisting) PT Bara Jaya International Tbk (ATPK) pada 30 September 2019. Tak hanya itu, BEI berpeluang menghapus pencatatan saham dua perusahaan lain yaitu PT Borneo Lumbung Energi & Metal (BORN) dan PT Danaya Arthatama Tbk (SCBD).

Berdasarkan surat pengumuman yang disampaikan BEI, saham ATPK dihapus setelah saham ini terkena suspensi baik di pasar reguler, tunai, dan negosiasi sejak 28 Agustus 2015. Namun sebelum penghapusan pencatatan, bursa masih membuka perdagangan saham ATPK di pasar negosiasi sejak 2 September 2019 hingga 20 hari setelahnya.

Dalam surat pengumumannya, BEI menjelaskan penghapusan saham ATPK sebagai emiten terdaftar mengacu Peraturan Bursa Nomor I-I. Penyebabnya, perusahaan sudah disuspensi selama 24 bulan terakhir, atau melewati dari batas waktu.

BEI menghapus pencatatan saham emiten tambang ini karena ada ketidakpastian usaha perusahaan tambang. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna pernah menyampaikan, pihaknya tidak perlu menunggu 24 bulan untuk melakukan koordinasi dengan perusahaan terkait.

“Tidak setelah 24 bulan kami baru teriak-teriak. Baru disuspen saja, kami intens (berkoordinasi dengan perusahaan),” kata Nyoman di Gedung BEI, Jakarta, seperti dikutip dari Katadata.co.id.

Gak Punya Ide Bisnis

Selain itu, Nyoman juga menyatakan ATPK tidak memiliki ide dalam menjalankan bisnisnya sama sekali. Padahal, bursa sudah melakukan beberapa upaya seperti lewat hearing dengan ATPK untuk menyampaikan penjelasan.

“Artinya, sama saja, tidak bisa menunjukan perbaikan yang kami harapkan,” kata Nyoman.

Emiten lain yang terancam delisting adalah BORN. Namun, hingga kini belum ada keputusan kapan perusahaan delisting dari bursa. Perusahaan ini terancam delisting karena sudah sejak 30 Juni 2015 sahamnya disuspensi dari perdagangan di pasar reguler dan pasar tunai.

Suspensi ini dilakukan karena BORN terlambat menyampaikan laporan keuangan dan belum membayarkan denda. Saham BORN masih diperdagangkan di pasar negosiasi, sampai akhirnya BEI menghentikannya pada 9 Mei 2019 lalu.

Penghentian perdagangan tersebut dilakukan BEI karena adanya indikasi keraguan bisnis pada perusahaan. Berdasarkan catatan yang dikutip dari Katadata.co.id, anak usaha BORN, PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) mengalami masalah hukum.

Anak usaha BORN menjadikan kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) sebagai jaminan untuk mendapatkan kucuran dana dari lembaga pinjaman, yaitu Standard Chartered Bank pada 2016. Hal ini tidak dibenarkan, karena telah menjadikan aset negara menjadi jaminan.

Sehingga, Kementerian ESDM melakukan pemutusan kontrak yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 3714 K/20/MEM/2017. AKT lalu menggugat Kementerian ESDM.

Kalah Gugatan di Pengadilan

Gugatan ini dimenangkan AKT. Namun, Kementerian ESDM mengajukan banding hingga akhirnya dikabulkan. Pengadilan kemudian membatalkan putusan sela yang memenangkan gugatan AKT sebelumnya.

Dalam keterbukaan infrormasi yang disampaikan oleh perusahaan pada 9 Juli 2019 lalu, AKT telah mendaftarkan permohonan penyelesaian sengketa terkait kasus penghentian sepihak tersebut melalui Badan Arbitrase Nasional Indnonesia (BANI). Perseroan memperkirakan, putusan penyelesaian sengketa melalui abritase tersebut dapat diperoleh dalam waktu sekitar 6 bulan setelah dimulainya pemeriksanaan perkara oleh Majelis Arbitrase.

Perusahaan lain yang kemungkinan keluar dari jajaran emiten bursa adalah SCBD dengan melakukan secara sukarela atau voluntary delisting. Rencana delisting SCBD disampaikan oleh BEI dalam keterbukaan informasi yang diunggah 16 Juli 2019.

Dalam keterbukaan yang ditandatangani oleh Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 2 BEI Vera Florida ini disampaikan bahwa perusahaan menyampaikan niat tersebut melalui surat bertanggal 5 Juli 2019. Bursa telah menghentikan perdagangan efek SCBD di pasar reguler dan tunai sejak 28 Juli 2017.

Penghentian perdagangan tersebut berkaitan dengan Pemenuhan Ketentuan V.2 Peraturan Bursa No. I-A, di mana SCBD tidak memenuhi syarat jumlah pemegang saham minimal 300 pihak. Seperti diketahui, saham SCBD sebelum dihentikan perdagangannya oleh BEI berada di harga Rp 2.700 per saham.

Berdasarkan data RTI Infokom, saat ini sahamnya dipegang oleh PT Jakarta International Hotels & Development Tbk sebesar 82,41 persen. Lalu PT Kresna Aji Sembada mengempit 8,87 persen saham, lalu publik sebesar 8,57%. Saham sisanya merupakan saham treasury sebanyak 0,15 persen.