Bahaya Latte Factor Kian Mengintai, Kebiasaan Kecil yang Justru Bikin Bangkrut

Latte Factor, Kebiasaan Receh yang Bikin Bangkrut (Shutterstock).

Jika setiap hari kamu menggunakan teknologi untuk pesan makan siang, menyeruput es kopi kekinian, atau malah kecanduan belanja online hanya karena ingin mendapat poin cashback, bisa jadi itu gejala awal latte factor

Istilah ini diperkenalkan oleh David Bach, seorang pakar keuangan asal Amerika Serikat yang menyatakan pengeluaran kecil tidak penting yang bisa ditiadakan namun rutin dilakukan sehari-hari disebut latte factor. 

Kebiasaan tersebut juga mencakup membeli air mineral kemasan, belanja cemilan, biaya transfer antar bank hingga biaya top-up uang elektronik yang kini marak dilakukan. Kebiasaan ini memang lebih banyak menghampiri kaum milenial, generasi yang sudah ketergantungan dengan teknologi dan kemudahan akses kebutuhan hidup melalui gadget. 

Kenapa menjangkiti milenial? karena mereka adalah generasi yang saat ini mudah mengeluarkan uang hanya untuk kepentingan eksis. Baik di dunia maya, maupun nyata yang berujung pada penyesalan pada akhirnya. 

Latte Factor juga muncul dari kebiasaan manusia yang gemar mengonsumsi hal kecil. Meski nominalnya kecil, jika dihitung dalam satu minggu, sebulan, bahkan setahun, nominalnya akan membuat kamu terkaget-kaget. 

Kebiasaan ini tidak hanya menjangkiti para milenial, siapapun bisa terbawa pada hal ini jika mereka tidak pintar dalam membelanjakan uangnya. Intinya, setiap orang pasti memiliki latte factornya masing-masing. Entah untuk membeli kopi kekinian, boba, atau camilan lain di moda transportasi online.

Mereka yang gemar belanja online sampai menimbun utang, atau mereka yang ketergantungan dengan taksi online, padahal bisa lebih hemat jika menumpang transportasi publik seperti bus dan kereta. 

Mengutip laman Tirto, latte factor muncul karena beberapa alasan. Bisa karena kebiasaan, atau impulsive buying karena tekanan dari lingkungan. Jika setiap pagi seseorang membeli kopi di kedai dekat kantor, maka secara tidak sadar ia akan selalu mampir ke kedai tersebut tanpa berpikir panjang lagi. Atau ketika teman-teman sebaya mengajak nongkrong di coffee shop mahal, maka ia akan mengikuti demi menjaga pertemanan. Pernah merasakan seperti itu? atau sedang merasakannya saat ini?

Bahaya latte factor

Latte Factor
Santai di Coffee Shop bikin boros (Shutterstock).

Managing Partner Grant Thornton Indonesia Johanna Gani menyebut kebiasaan ini bisa muncul dengan mudahnya hanya karena kebiasaan. Tanpa disadari, kebiasaan ini akan menggerogoti keuanganmu, termasuk tabungan dan dana lainnya. 

Contohnya saja, jika kamu biasa minum kopi kekinian setiap hari seharga Rp 25 ribu. Jumlah itu dikali 30 hari, yang artinya kamu membutuhkan uang lebih setengah juta hanya untuk minum kopi saja. Padahal kamu bisa bikin sendiri di rumah dan membawanya ke kantor. Jauh lebih hemat ketimbang kamu membelinya. 

Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk transportasi, makan siang, dan hal tak terduga lain. Jika ini terus dibiarkan begitu saja tanpa ada evaluasi, kamu bisa bangkrut atau mengalami kondisi finansial cukup serius. 

Dengan istilah ini, Bach mencoba mengingatkan kamu tentang bahaya pengeluaran kecil tapi sering dilakukan. Mungkin saat ini mengeluarkan uang Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu tidak terasa besar. Tapi, jika dijumlahkan angka ini akan menjadi sangat besar dan sangat berpengaruh pada kondisi keuangan seseorang di masa depan.

Menghitung latte factor

Latte Factor
Seorang pria sedang merokok dan minum kopi (Shutterstock).

Jika kamu masih ragu akan kebenaran kebiasaan buruk ini, ada cara mudah untuk mengetahuinya. Hitungannya sederhana saja, hitung biaya jajan kopi kamu selama satu bulan, angka ini akan fantastis. Itu baru kopi, tapi bagaimana jika kamu juga seorang perokok berat, jajan kopi ditambah beli rokok selama satu bulan. Hitungannya seperti ini:

– Kopi kekinian Rp 25 ribu

– Rokok satu bungkus Rp 20 ribu

Dalam satu hari kamu sudah mengeluarkan uang sebesar Rp 45 ribu untuk hal kecil seperti ini. Jika dikalikan selama satu bulan, Rp 45 ribu x 30 = Rp 1.350.000. Belum untuk transportasi, makan siang, atau kebutuhan mendesak lainnya bukan. 

Di Jakarta, untuk menikmati seporsi makanan dan minuman di sebuah restoran menengah, seseorang harus merogoh kocek Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Jika diambil tengahnya, maka kira-kira menjadi Rp 150 ribu. Jika dalam satu minggu dua kali makan di restoran, berarti sudah membelanjakan Rp 300 ribu dari kantung. Sebulan Rp 1,2 juta dan setahun Rp 14,4 juta!

Nah untuk para wanita, mungkin kamu sering melakukan window shopping baik di pusat perbelanjaan maupun toko online. Tanpa disadari, ini juga bisa menjadi latte factor kamu lho. Mungkin kamu hanya merogoh Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu sekali belanja. Tetapi jika ini sering dilakukan, maka jumlahnya akan menggunung. Ini akan semakin sia-sia jika barang yang di beli ternyata tidak terlalu dibutuhkan.

Masih ada beberapa hal lain seperti biaya administrasi bank, biaya ATM, paket pulsa, paket internet, atau tv kabel dan sebagainya yang tidak disadari menjadi latte factor yang sebenarnya bisa dihindari atau dikurangi.

Bayangkan jika kamu bisa mengurangi separuh dari semua belanja ini, minimal bisa menyisihkan Rp 25 juta setahun. Jika jumlah ini ditabung atau diinvestasikan, maka di hari tua kamu tinggal petik hasilnya kan. 

Kenali hal yang menjadi kebiasaan boros itu

Latte Factor
Mobile banking juga bisa menjadi gejala pemborosan (Shutterstock).

Hal pertama yang perlu dilakukan jika ingin mengurangi kebiasaan tersebut adalah mengenali latte factor kamu sendiri. Sisir jejak pengeluaran dalam 2-3 bulan terakhir. Apa saja pengeluaran rutin yang gak seberapa, tapi kalau dijumlah jadi banyak. 

Jika sudah, mulai sekarang cobalah untuk mengubah kebiasaan itu, apakah itu kebiasaan beli kopi, jajan, atau nongkrong di restoran setiap akhir pekan. Tidak mudah memang, tapi jika disiplin, kamu akan merasakan manfaatnya.

Mengurangi kebiasaan beli kopi, jajan, makan di restoran, belanja online, paket pulsa, biaya ATM, tidak akan serta-merta membuat kaya mendadak. Tapi yakinlah, semua ini akan memberikan kamu kebebasan finansial di masa depan.

Satu lagi kebiasaan yang tanpa disadari membawa banyak pengeluaran yakni biaya transaksi keuangan. Itu semua dikenakan biaya. Mungkin terkesan sepele, tapi secara tidak sadar, semakin banyak transaksi akan semakin banyak pula biaya yang harus dibayarkan.

Mungkinkah kebiasaan ini bisa dihentikan?

Latte Factor
Langganan TV berbayar (Shutterstock).

Poin penting yang dikatakan oleh Bach adalah bukan membuat orang menjadi kaya, tetapi bagaimana mereka sadar dalam membelanjakan uang. Perhatikan betul apa saja yang kamu butuhkan mulai saat ini. Apa itu tagihan film berbayar, internet, atau membeli air kemasan. 

Tetapi bukan serta merta kamu harus mengubah total kebiasaan tersebut. Hanya saja cukup evaluasi apakah itu benar-benar kamu butuhkan atau tidak. Cukup mengurangi atau mengendalikan kebiasaan ini dan bukan langsung menghentikannya.

Sesekali nongkrong bareng untuk ngopi atau makan di restoran tentu tidak jadi masalah. Bagaimanapun keseimbangan hidup diperlukan, toh kita berhak untuk sesekali menikmati hasil jerih payahnya, bukan?

Kalau memang tidak punya waktu menonton televisi, kenapa harus memaksa langganan TV kabel? Demikian juga kenapa harus membayar biaya bulanan gym yang mahal, jika ternyata kamu tidak punya cukup waktu untuk itu?

Jika sudah menyadari itu semua, kamu bisa lebih fokus pada tujuan besar. Misalnya saja kamu ingin liburan ke luar negeri bersama keluarga, atau pergi umroh, dan keinginan-keinginan lain yang perlu kerja keras untuk mendapatkannya. Latte factor bisa kamu hindari, tetapi tidak bisa dihentikan dalam sekejap. Semoga bermanfaat! (Editor: Winda Destiana Putri).