Tarik Pajak Google Susah Banget, Ini Langkah Indonesia dan G20

pajak google

Menteri keuangan negara anggota G20 sepakat untuk menekan penarikan pajak Google dan perusahaan teknologi lainnya. Hal ini disepakati melalui pertemuan di Jepang pada Senin (10/6) lalu. Negara-negara anggota G20 sendiri ada Indonesia, AS, Jepang, China, India, Korsel, Arab Saudi, Australia, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Inggris, Afrika Selatan, Argentina, Turki, Italia, Meksiko, Rusia, Brasil, dan Kanada.

Dikutip dari Reuters, perusahaan raksasa teknologi seperti Google, Facebook, Apple, hingga Amazon selama ini terus berusaha mencari celah agar bisa membayar pajak dengan murah. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membukukan keuntungan dari negara-negara yang memiliki pajak rendah seperti Irlandia dan Luksemburg. Praktek seperti ini yang kemudian disebut oleh G20 sebagai praktek yang curang, karena sesungguhnya keuntungan yang mereka dapatkan sangatlah banyak dan tersebar di beberapa negara.

pajak google
Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani. (Instagram/@smindrawati)

Menkeu Sri Mulyani sendiri menyebutkan sulitnya mengejar pajak raksasa teknologi seperti Google. Padahal pada tahun 2016 lalu, pemerintah telah melayangkan surat kepada Google Asia Pacific untuk membayar pajak sebesar Rp 5,5 triliunan. Tapi sayangnya Google menolak dengan alasan bukan Badan Usaha Tetap di Indonesia.

Lalu, di tahun 2017, seperti dikutip dari CNBC, Sri Mulyani menyebut kalau raksasa teknologi itu sudah melunasi utang-utang pajaknya di Indonesia, sehingga masalah itu telah selesai. Kira-kira apa sih yang menyebabkan negara-negara sulit menarik pajak Google dan perusahaan teknologi lainnya?

Penyebab sulitnya tarik pajak Google dan perusahaan teknologi global

pajak google
Kantor Google. (Shutterstock)

Bisnis digital merupakan sesuatu yang baru muncul beberapa dekade belakangan ini. Karena perkembangan zaman yang semakin dinamis dan canggih, berbisnis sudah tidak perlu lagi melibatkan aspek secara fisik, tapi juga bisa melalui jaringan-jaringan digital. Meski di satu sisi menciptakan kemudahan, tapi di satu sisi juga memunculkan problem baru bagi negara-negara yang terlibat yaitu tentang pemungutan pajaknya.

Perusahaan-perusahaan teknologi mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari perkembangan zaman ini. Mereka bisa dengan bebas bertransaksi ke berbagai negara dengan jumlah yang tak terbatas, namun tanpa harus membayar kewajiban pajak seperti halnya bisnis-bisnis non digital lainnya ke negara tersebut. Kenapa hal ini bisa terjadi? Kenapa pula Indonesia sangat sulit menarik pajak dari perusahaan teknologi semacam Google?

Kurang kuatnya landasan hukum perpajakan internasional

Dikutip dari CNN Indonesia, memungut pajak dari bisnis berbasis digital sangat sulit dibandingkan bisnis non-digital. Hal ini diungkapkan oleh ahli pajak Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo.

Ia menyebutkan, landasan hukum perpajakan internasional belum mencakup bisnis berbasis digital. Inilah yang menyebabkan perusahaan teknologi seperti Google bisa dengan bebas menjalankan kegiatan bisnisnya tanpa harus membayar pajak dengan jumlah yang besar. Padahal, keuntungan yang telah mereka dapatkan sangatlah banyak, mencapai triliunan rupiah hanya dari iklan saja.

Perusahaan digital gak harus berbentuk Badan Usaha Tetap, sehingga gak wajib bayar pajak

Sri Mulyani, seperti dilansir dari Merdeka, menyebutkan kalau bisnis model digital dan non-digital di Indonesia sangatlah berbeda. Kalau bisnis non-digital diharuskan berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) sementara bisnis digital tidak diharuskan. Nah untuk bisnis yang tidak berbentuk BUT atau gak punya kehadiran secara fisik, mereka tidak diwajibkan membayar pajak di manapun negaranya.

Tapi sebenarnya, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai perusahaan berbadan hukum sejak tahun 2011. Sesuai dengan Pasal 2 Ayat 5 Huruf N UU Pajak Penghasilan, setiap perusahaan yang telah berbentuk BUT harus membayarkan pajak pendapatannya di Indonesia.

Langkah yang ditempuh G20, menyusun aturan baru

Negara G20 telah sepakat untuk menarik pemasukan maksimal dari pajak Google dan perusahaan teknologi lainnya. Karena lemahnya peraturan terhadap bisnis digital, G20 akan merumuskan peraturan baru tentang pajak bisnis digital di negara masing-masing.

Selama ini, sebagian negara di Eropa seperti Prancis dan Inggris telah menerapkan pajak bagi bisnis digital. Tapi, gak sebesar bisnis non-digital. Kalau bisnis non-digital rata-rata pajak penghasilannya sekitar 23 persen dari pendapatan, namun untuk bisnis digital hanya sekitar 9,5 persen.

Menurut Reuters, para Menteri Keuangan G20 akan membuat dua rancangan peraturan tentang pemungutan pajak bisnis digital. Pertama, membuat perjanjian penarikan pajak bagi perusahaan yang memiliki bisnis digital di tempat barang atau jasa mereka dijajakan. Kedua, pemberian sanksi tarif pajak minimum global apabila bisnis digital itu tidak segera membayar pajak. Untuk besaran tarif pajak minimumnya globalnya masih akan dibahas lagi di pertemuan berikutnya.

Tujuan penarikan pajak ini tentu untuk menciptakan keadilan terhadap negara-negara yang selama ini telah dijadikan sebagai sumber keuntungan bagi raksasa teknologi. Masak keuntungannya sampai triliunan rupiah, tapi pajak Google dan kawan-kawan kecil!