Cara Menghitung BPHTB, Beserta Pengertian dan Syarat Lengkap

Biaya BPHTB

Cara menghitung BPHTB diperlukan ketika kita ingin membeli atau berinvestasi pada tanah maupun bangunan yang berdiri di atasnya. Tak sekedar mempertimbangkan harganya saja, salah satu hal penting yang juga harus kita perhatikan adalah cara menghitung BPHTB secara lengkap.

Agar lebih mudah memahami cara menghitung BPHTB, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang apa itu BPHTB, tarif dan objek yang dikenakan, serta syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mengurus serta membayarkannya.

Apa itu BPHTB?

Sebelum beranjak ke bahasan cara menghitung BPHTB, kenali dulu apa pengertian dari singkatan yang satu ini. BPHTB adalah singkatan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Saat kita hendak membeli tanah atau rumah, ada pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang harus kita bayarkan. Biaya ini muncul dan tertera dalam surat perjanjian jual beli rumah. Baik saat kita membeli tanah atau bangunan via KPR, cash keras, maupun ketika kita mendapat warisan atau hibah.

BPHTB dikenakan langsung pada individu atau badan yang terlibat dalam transaksi jual beli tanah atau rumah. Sebab individu atau badan tersebutlah yang mendapatkan hak atas tanah atau bangunan yang diperjualbelikan secara hukum.

Dalam hal ini, penjual dan pembeli sama-sama memiliki kewajiban untuk membayarkan pajaknya. BPHTB ditanggung oleh pembeli dan bagi penjual akan dikenai Pajak penghasilan (PPh)

Meskipun pembeli merupakan pihak yang wajib membayarkan pajak ini, penjual dapat diminta menanggung biaya BPHTB jika sebelumnya telah diatur dalam akad jual beli yang telah disetujui kedua belah pihak.

Dasar Hukum BPHTB

Dasar hukum pengenaan BPHTB pada transaksi jual-beli tanah atau rumah adalah Pasal 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 dan perubahannya dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2000.

Pada awalnya, BPHTB dipungut langsung oleh pemerintah pusat. Namun setelah terbit Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB kini menjadi salah satu jenis bea yang ditagihkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Perbedaan Bea dan Pajak pada BPHTB

Sesuai namanya, BPHTB termasuk ke dalam jenis bea, bukan pajak. Pasalnya, jika ingin transaksi jual-beli tanah atau rumah beres, maka pembeli harus membayarkan BPHTB sebelum akta dibuat dan ditandatangani. Ini berbeda dengan pembayaran pajak yang dikenakan setelah terjadinya transaksi.

Selain itu, pembayaran BPHTB bisa dilakukan kapan saja tidak terikat oleh waktu. Sementara pajak memiliki tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran untuk suatu masa pajak sesuai jenisnya.

Tarif dan Objek yang Dikenakan BPHTB

Dalam Pasal 85 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang ditransaksikan kepemilikannya.

Tarif BPHTB akan dikenakan ketika terjadi pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan karena:

  • jual beli
  • tukar menukar
  • hibah
  • hibah wasiat
  • waris
  • pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain
  • pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
  • penunjukan pembeli dalam lelang
  • pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
  • penggabungan usaha
  • peleburan usaha
  • pemekaran usaha, atau
  • hadiah
  • Serta pemberian hak baru atas tanah dan/atau bangunan karena kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak.

    Adapun yang termasuk objek BPHTB antara lain pengalihan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan.

    Jadi, bukan hanya properti yang punya Sertifikat Hak Milik (SHM) saja yang dikenakan BPHTB. Suatu bangunan yang hanya dilengkapi Hak Guna Bangunan (HGB) pun akan tetap memiliki komponen biaya ini.

    Objek Pajak Tidak Kena BPHTB

    Meski terkesan memiliki cakupan objek pajak yang luas, nyatanya tidak semua perolehan hak atas tanah atau bangunan dikenakan BPHTB. Berikut adalah enak pihak yang termasuk objek pajak tidak kena BPHTB, antara lain:

    1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. 
    2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan/atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum. 
    3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan Menteri Keuangan. 
    4. Individu atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. 
    5. Tanah atau bangunan wakaf.
    6. Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

    Secara umum, BPHTB bisa dijelaskan dengan poin berikut ini:

  • Muncul karena adanya transaksi properti sebagai pungutan pajak dari pemerintah, termasuk warisan dan hibah
  • Wajib dibayar dalam transaksi properti baik cash maupun kredit
  • Pembeli menjadi pihak yang wajib membayar, kecuali diatur dalam akad
  • Yang menjadi objek pajak adalah tanah atau bangunan, termasuk rumah, ruko, dan apartemen
  • Dasar hukumnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2000.
  • Cara Menghitung BPHTB

    Cara menghitung BPHTB dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan menentukan besarnya BPHTB. Pertama, dasar pengenaan pajak yang terdiri atas Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

    Besarnya NPOPTKP berbeda-beda tergantung ketetapan di masing-masing daerah. Akan tetapi, pemerintah melalui UU No. 28 Tahun 2009 pasal 87 ayat 4 telah menetapkan batas besaran paling rendah adalah Rp 60.000.000 untuk setiap wajib pajak.

    Faktor lain yang menentukan besarnya BPHTB adalah ketetapan tarif pajak BPHTB sebesar 5%.

    Dengan begitu, cara menghitung BPHTB yang perlu dibayarkan bisa dilakukan menggunakan rumus perhitungan berikut:

    BPHTB = Tarif Pajak (5%) x Dasar Pengenaan Pajak (NPOP–NPOPTKP)

    Keterangan:

  • Tarif pajak yang berlaku sebesar 5%
  • NPOP = Nilai Perolehan Objek Pajak
  • NPOPTKP = Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
  • Ilustrasi penghitungan BPHTB

    Sebagai ilustrasi, Didi membeli tanah seluas 1.000m2 seharga Rp 350 juta di Kota Depok. Sementara Pemerintah Kota Depok menentukan NPOPTKP yang berlaku adalah Rp 60 juta. Dengan demikian, BPHTB yang perlu dibayarkan Didi adalah:

    NPOP = Rp 350.000.000

    NPOPTKP = Rp 60.000.000

    Maka, BPHTB = 5% x (Rp350 juta–Rp60 juta) = Rp 14.500.000.

    Dengan begitu, dapat disimpulkan BPHTB yang perlu dibayarkan Didi adalah sebesar Rp 14.500.000.

    Syarat Mengurus BPHTB

    Setelah mengetahui cara menghitung BPHTB, untuk bisa membayarkanya kita perlu mengetahui apa saja syarat mengurus BPHTB yang diperlukan. Berdasarkan sumber perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dimiliki, syarat pembayaran BPHTB dibedakan menjadi dua kelompok. 

    Pertama, berdasarkan jual beli. Kedua, berdasarkan waris, hibah, atau jual beli waris. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai tiap-tiap syarat.

    1. Syarat BPHTB berdasarkan jual beli tanah dan/atau bangunan

  • Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau SSPD BPHTB.
  • Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan atau SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan.
  • Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau KTP wajib pajak.
  • Fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP.
  • Fotokopi Surat Tanda Terima Setoran atau STTS/struk ATM bukti pembayaran PBB selama 5 tahun terakhir.
  • Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah, dapat berupa sertifikat, akta jual beli, girik, atau Letter C.
  • 2. Syarat BPHTB berdasarkan waris, hibah, atau jual beli waris tanah dan/atau bangunan

  • Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau SSPD BPHTB.
  • Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan atau SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan.
  • Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau KTP wajib pajak.
  • Fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP.
  • Fotokopi Surat Tanda Terima Setoran atau STTS/Struk ATM bukti pembayaran PBB selama 5 tahun terakhir.
  • Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah, dapat berupa sertifikat, akta jual beli, girik atau Letter C.
  • Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah.
  • Fotokopi Kartu Keluarga atau KK.
  • Sanksi Pelanggaran terkait BPHTB

    Sanksi pelanggaran terkait BPHTB diatur dalam Pasal 93 ayat 1-3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Sanksi pelanggaran terkait BPHTB ini dapat berupa sanksi administratif atau sanksi yang disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Pelanggaran Penandatanganan Akta Pemindahan Hak
  • Pelanggaran mengenai penandatanganan akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak dapat dikenakan denda Rp 7.500.000 untuk setiap pelanggaran.

  • Pelanggaran Pelaporan Pembuatan Akta atau Risalah Lelang 
  • Pelanggaran mengenai pelaporan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya dapat dikenakan denda Rp 250.000 untuk setiap laporan.

  • Pelanggaran Pendaftaran atau Peralihan Hak
  • Kepala kantor bidang pertanahan yang melakukan pelanggaran pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Sanksi BPHTB Kurang Bayar
  • Peraturan yang mengatur sanksi BPHTB kurang bayar diserahkan kepada masing-masing pemerintah kabupaten/kota. Sehingga setiap daerah memiliki sanksi BPHTB kurang bayar yang berbeda-beda. Namun, beberapa daerah menerapkan sanksi administratif berupa denda sebesar 2% setiap bulan dihitung dari BPHTB yang kurang atau tidak dibayarkan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya.

    Perbedaan BPHTB dan PPhTB

    Bagi orang awam, istilah BPHTB dan PPhTB mungkin masih sangat membingungkan untuk dimengerti, apalagi dipahami perbedaannya. Meskipun sama-sama menyangkut kepemilikan tanah dan bangunan, BPHTB berbeda dari PPhTB.

    Secara sederhana, BPHTB adalah biaya yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dibayarkan oleh pihak pembeli. Artinya, pembeli lah yang harus membayarkan BPHTB kepada negara. Oleh Sebab itu biaya ini juga dikenal luas sebagai Bea Pembeli.

    Sementara Pajak atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (PPhTB) merupakan pajak yang dikenakan kepada pihak yang mendapatkan penghasilan karena pengalihan hak atau penjualan tanah dan/atau bangunannya. Artinya, pihak penjual lah yang akan menanggung PPhTB. Sehingga pajak ini juga sering disebut sebagai Pajak Penjual.

    Besaran PPhTB

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2016, ada tiga ketentuan besaran PPhTB, yaitu:

  • 0 persen atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pihak pemerintah, BUMN yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, dan BUMD yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah sesuai ketentuan dalam undang-undang.
  • 1 persen dari jumlah bruto atas nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana.
  • 2,5 persen dari jumlah bruto atas nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain yang berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana.
  • Ilustrasi penghitungan BPHTB dan PPhTB

    Dimisalkan sebidang tanah kosong di daerah Depok diperjual-belikan dengan data-data sebagai berikut:

    Luas tanah: 1.000 m2

    NJOP: 350.000 per meter

    NPOPTKP: Rp 60 juta (Depok)

    Harga kesepakatan antara penjual dan pembeli adalah Rp 500.000 per meter

    Maka, nilai NPOP (nilai transaksi) = Luas Tanah (1.000 m2) x Harga yang Disepakati (Rp 500.000) = Rp 500.000.000

    Selanjutnya, metode penghitungan besaran PPhTB dan BPHTB adalah sebagai berikut:

    PPh= 5% x NPOP

    Besarnya PPh = 5% x Rp 500.000.000 = Rp 25.000.000.

    BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)

    Besarnya BPHTB = 5% x (Rp 500.000.000 – Rp 60.000.000) = Rp 22.000.000.

    Jadi PPhTB yang dikenakan pada penjual saat melakukan peralihan hak jual beli adalah sebesar Rp 25 juta, sedangkan pembeli akan terkena BPHTB sebesar Rp 22 juta.

    Lindungi asetmu dengan asuransi properti terbaik

    Tanah dan bangunan, termasuk rumah tinggal merupakan aset properti berharga yang tak main-main nilainya. Selain dijadikan sebagai tempat tinggal, rumah juga bisa menjadi aset investasi yang nilainya terus melonjak setiap tahun. Maka sebaiknya kamu memiliki perlindungan properti lewat asuransi.  

    Salah satu asuransi untuk properti hunian yaitu asuransi rumah pribadi baik dalam bentuk rumah tapak ataupun rumah susun/apartemen. Asuransi rumah memberikan perlindungan finansial jika terjadi kerugian atau kerusakan pada properti hunian kamu beserta isinya. Dengan asuransi rumah, maka segudang risiko yang berpotensi merusak rumah, misalnya banjir, gempa bumi, kebakaran, hingga pencurian dapat teratasi. 

    Bayangkan, bagaimana jika sewaktu-waktu bencana datang menimpa hunian kamu dan meluluhlantakkan seluruh bangunan serta aset di dalamnya sekaligus? Tentu kondisi ini tidak kamu inginkan untuk terjadi. Apalagi, selain sebagai aset investasi rumah juga memiliki nilai historis bagi kamu dan keluarga.

    Tanpa asuransi properti, maka segala kerugian yang timbul akibat bencana tersebut akan menjadi tanggung jawabmu sendiri. Berbeda halnya jika kamu memiliki asuransi properti yang melindungi nilai asetmu dari kerusakan yang kecil hingga besar.

    Jika kita masih dalam masa mencicil rumah yang kita beli melalui KPR, bukan hanya itu risiko yang bisa menimpa. Amit-amit sesuatu terjadi kepada kita, misalnya saja tiba-tiba kita sebagai pencari nafkah utama meninggal dunia.

    Lalu, bagaimana keluarga kita harus membayar beban cicilan yang kita tinggalkan? Jawaban dan solusinya adalah sebaiknya kita memiliki asuransi kredit. Asuransi kredit akan melunasi sisa kredit rumah yang tersisa. Keluarga pun menjadi tenang dengan adanya perlindungan ini.

    Itulah dia seluruh informasi mengenai cara menghitung BPHTB beserta pengertian dan syarat lengkap yang perlu kita ketahui sebelum melakukan transaksi jual-beli tanah atau rumah. Perlu diingat bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB ini hukumnya wajib bagi kita yang hendak membeli tanah atau rumah, sehingga jangan sampai tidak dibayarkan, ya!

    Kalau kamu masih punya pertanyaan lain tentang BPHTB, biaya-biaya lain seputar kepemilikan rumah, atau kebingungan lain soal keuangan, kamu bisa mengajukan pertanyaan di fitur Tanya Lifepal!

    Pertanyaan Seputar Cara Menghitung BPHTB

     

    Dalam transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan, Pajak penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan kepada pihak penjual dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah biaya yang dikenakan kepada pihak pembeli. Keduanya dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).

    Tinggalkan uang senilai Rp1 miliar untuk keluarga agar tidak alami kesulitan ekonomi dengan memiliki asuransi jiwa. Beli polis asuransi di Lifepal bisa hemat hingga 25 persen.

    Cara menghitung BPHTB yaitu dengan mengalikan tarif pajak yaitu sebesar 5 persen dengan harga beli tanah dan/atau bangunan (NPOP) dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).

    Pembayaran BPHTB bisa dilakukan oleh pembeli di bank-bank terdekat seperti Mandiri, BNI, dan BRI. Selain itu, kini juga sudah tersedia layanan pembayaran BPHTB online yang memudahkan pembayaran BPHTB.

    BPHTB merupakan pungutan biaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sehingga besaran nilai pajak setiap daerah akan berbeda-beda tergantung pada peraturan yang berlaku di daerah masing-masing.

    Pembayaran BPHTB dilakukan sebelum akta jual beli tanah dan/atau bangunan dibuat dan ditandatangani. BPHTB harus dibayar dalam masa pajak atau tahun pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di perpajakan daerah.