Sengketa RI dan China Berlanjut, Pulau Natuna Menyimpan Potensi SDA Mencapai Rp 5 Triliun

Sengketa-RI-dan-China-Berlanjut-Pulau-Natuna-Menyimpan-Potensi-SDA-Mencapai-Rp-5-Triliun

Pulau Natuna yang berada di Provinsi Kepulauan Riau kembali menjadi sorotan setelah kapal-kapal asal negara China berada di wilayah tersebut untuk mengambil sumber daya perikanan. Tentu hal ini menyulut respons pemerintah Indonesia yang secara hukum internasional area tersebut berada di bawah NKRI.

“Terkait dengan kapal ikan RRT (red: Republik Rakyat Tiongkok) yang dikawal resmi pemerintah Tiongkok di Natuna, prinsipnya begini, Indonesia tidak akan melakukan negosiasi dengan Tiongkok,” terang Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM kepada media saat hadir di Peringatan Dies Natalis Ke-57 Universitas Brawijaya di Kota Malang, Jawa Timur tanggal 5 Desember 2020, mengutip dari Detik.com.

Pulau Natuna kembali hangat perbincangan ke permukaan pasca Kementerian Kelautan dan Perikanan berpindah komando dari Susi Pudjiastuti ke Edhy Prabowo pada Oktober 2019 lalu. Puncaknya terjadi tanggal 3 Januari 2020 lalu ketika juru bicara Menteri Luar Negeri Republik Rakyat China, Geng Shuang menyatakan kapal negaranya berhak berada di perairan Natuna. 

Banyak pihak masih bertanya-tanya kenapa Pulau Natuna terus-terusan dilanda konflik antar negara, alasan utama selain mengenai kedaulatannya adalah karena memiliki potensi ekonomi yang melimpah. 

Baca juga: Ini 5 Negara Terkaya di Dunia, Upah Minimumnya Ada yang Rp 29 Juta!

Sengketa Pulau Natuna harusnya tidak terjadi jika mengacu pada peraturan PBB

Pulau Natuna
Sengketa Pulau Natuna harusnya tidak terjadi jika mengacu pada peraturan PBB, (harvardilj.org).

Jika menganut pada peraturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berdasarkan United Nation Law of the Sea (UNCLOS), perairan Natuna masih berada dalam wilayah Indonesia. Sebab di ZEE tercantum bahwa wilayah perairan yang jaraknya 200 mil (321 Kilometer) dari garis pantai Kepulauan Natuna adalah hak negara Indonesia.

Sedangkan pemerintah China menggunakan dasar peraturan 9 Garis Putus-Putus (9 Dash Line) yang dibuatnya sendiri atas wilayah perairan Natuna. Padahal aturan tersebut udah dinyatakan gak berlaku oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration).

Perbedaan pandangan inilah yang menjadi asal muasal kenapa beberapa negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia termasuk Indonesia sering bermasalah dengan pihak pemerintahan China.

Pulau Natuna menyimpan kekayaan SDM yang melimpah untuk Indonesia

pulau natuna
Pulau Natuna menyimpan kekayaan SDM yang melimpah untuk Indonesia, (Ilustrasi/Shutterstock).

Gak cuma masalah kedaulatan aja nih, ternyata disamping itu wilayah Natuna juga menyimpan berbagai macam kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan oleh negara Indonesia.

Salah satunya adalah kekayaan ikannya yang melimpah. Sedikitnya ada potensi sebesar 400.000 ton per tahunnya. Hal itu diungkapkan langsung oleh mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti.

Sedangkan untuk cadangan minyak bumi wilayah ini bisa memproduksi sebanyak 25 ribu barel per hari dan gas bumi sebanyak 489 juta kubik kaki per harinya. Jadi pantas saja kalau perairan Natuna sering dilanda sengketa. 

Berapa potensi pendapatan Natuna untuk Indonesia?

Pulau Natuna
Berapa potensi pendapatan Natuna untuk Indonesia?, (Ilustrasi/Shutterstock).

“Kami perhitungkan di sana menurut data yang ada kurang lebih 400 ribu ton per tahun. Jadi kalau dikali satu dolar ya 400 juta dollar,” terang Susi Pudjiastuti, mengutip dari JPNN. Jika menggunakan kurs rupiah maka nilainya Rp 5,5 triliunan.

Angka segitu tentunya sangat besar dan bisa terus meningkat jika pemerintah terus membantu para nelayan lokal untuk menyiapkan sarana dan prasarana secara lengkap. Itu baru dari sisi kekayaan perikanan, bila digabungkan dengan minyak bumi dan gas alam pastinya akan berlipat ganda.

Nah itulah sedikit informasi soal Pulau Natuna yang saat ini menjadi bahan perdebatan pemerintah Republik Indonesia dengan China lantaran melabuhnya kapal-kapal Republik Rakyat Tiongkok. (Editor: Mahardian Prawira Bhisma)