Realita Keuangan Pasca Menikah yang Suka Bikin Kaget
Hidup bareng pasangan gak seperti tergambar di foto-foto pernikahan atau prewedding. Bolehlah di foto itu pasang senyum lebar dan tatapan bahagia. Faktanya, sehari-hari belum tentu seperti itu.
Pastinya hidup seatap bareng pasangan enggak mudah. Bahkan seringnya menuntut banyak pengorbanan. Rutinitas hidup berubah. Biasa tidur sendiri, sekarang ada yang menemani. Biasa mandi dan makan sesuka hati, kini selalu jadi target patroli.
Yang jelas, hampir semua pasangan yang menikah alami culture shock. Bukan hanya sekadar kebiasaan saja, tapi juga menyangkut finansial.
Kadang-kadang pasangan merasa di posisi lowest point of life. Dan kalau sudah begini, sudah barang tentu urusan finansial jadi topik yang sensitif. Sepertinya segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta dan harta itu kalau dibahas suka menusuk hati.
Tapi, ini realita. Semua harus dihadapi. Begitu sudah menikah,tidak bisa balik lagi ke masa lajang. Ucapan di depan penghulu adalah sumpah jalani sehidup semati, sehat atau sakit, kaya atau miskin, sampai maut memisahkan.
Dari situ semestinya paham di awal kalau jalani biduk rumah tangga gak selalu lempeng. Utamanya seputar naik turunnya ekonomi rumah tangga.
Tapi, rata-rata pasangan berusaha menjauhi masalah ini. Padahal krusial banget. Salah urus, peluang bertengkar terbuka sekali.
Kalau gak juga diberesi, bakal merembet ke mana-mana sampai ke anak. Belum lagi kalau ditambah dengan masalah utang.
Inilah mengapa perlunya pengetahuan situasi keuangan yang nyata setelah menikah. Berikut ini beberapa contohnya.
Realita pertama, realistis vs materialistis
Cowok sering labeli cewek dengan sebutan matre. Bisa jadi fakta sebenarnya cewek itu tipe yang realistis. Jelas beda banget antara cewek matre dengan cewek realistis.
Cewek matre selalu lihat pasangannya sebagai sumber duit. Gak mau tahu, pokoknya setiap ada keinginan mesti selalu dipenuhi.
Lain halnya cewek realistis. Cirinya terlihat kalau dia gak punya tuntutan yang tinggi banget atau neko-neko. Pikirannya jauh ke depan dan siap berjuang bareng pasangan.
Sayangnya, enggak semua suami bisa bedakan ini. Begitu diajak bahas keuangan, responsnya negatif. Dianggap superkepo dan gak percayaan.
Padahal bagi cewek yang realistis, tujuan bahas beginian sekadar ingin memastikan setelah menikah nanti ada kepastian hidup layak. Realistis kan?
Realita kedua, pengeluaran sulit dibendung
Susah bendung duit. Terus-terusan ngalir seperti ember bocor. Bukan diartikan untuk foya-foya ya, tapi untuk nutup pengeluaran rutin. Tagihan listrik, cicilan rumah, biaya sekolah anak, dan belanja bulanan.
Belum lagi kalau ada gejolak ekonomi seperti melonjaknya harga sembako, BBM naik, atau anak sakit yang bikin tabungan terkuras habis.
Apa gak puyeng merasa gaji selalu ludes sebelum bulan berganti?
Realita ketiga, ini yang KITA butuhkan, bukan yang AKU butuhkan
Ini sudah pasti. Masing-masing harus sadar diri dan siap berkorban. Singkirkan dulu kepentingan pribadi demi keluarga.
Tunda dulu keinginan beli mobil ketika anak mau masuk sekolah. Si istri harus puas bikin kipling tas-tas branded lantaran harga sembako melangit.
Pengorbanan itu perlu demi tujuan keuangan keluarga tercapai. Ego dan keinginan diri sendiri mesti ikhlas ditekan kuat-kuat.
Biar realita keuangan ini gak ganggu pernikahan, gak ada salahnya menerapkan beberapa poin berikut ini.
1. Jaga nyali berhadapan dengan realita
Semua pilihan ada risikonya, termasuk menikah. Dan, menikah itu bukan hidup di alam fantasi. Semua real.
Jadi coba kelola risiko itu dengan perencanaan di awal. Jangan sampai nikah sekadar kejar status dan akhirnya berakhir di depan hakim agama karena alasan finansial.
Buka-bukaan saja sejak awal soal keuangan. Mulailah berani bertanya, ketika menikah nanti siapa yang akan pegang uang?
2. Selalu jujur meski menyakitkan
Jujur soal keuangan itu enggak sekadar penting, tapi keharusan. Jangan sampai demi kenyamanan untuk pasangan, sumbernya berasal dari utang. Itu pun ditutup-tutupi.
Alangkah baiknya jujur sedari awal dan siap mendapat reaksi yang kurang enak dari pasangan. Ini lebih baik ketimbang menutupi semuanya dan bikin hati gak tenang karena utang menumpuk, kan?
Di samping itu cek juga ketika pasangan sudah jujur dengan bilang lagi bermasalah sama keuangan tapi kok kebiasaannya mengelola uang tetap gak berubah.
3. Kompromi dan komit
Namanya aja menikah, harus ada kompromi dan komit dong. Kalau gak ada dua hal itu, jadinya gak satu visi.
Mulailah dengan menyusun daftar impian berdua. Ketik atau tulis di kertas. Selanjutnya susun mana saja yang mendesak direalisasikan dan mana yang bisa ditunda.
Susunan itu mesti dikompromikan mengingat keuangan ada batasnya. Jangan lupakan juga dari pos-pos pengeluaran itu mana yang bisa dihemat. Sebisa mungkin pula sumbernya gak dari utang.
4. Dukung potensi pasangan
Lihat potensi pasangan dan saling dukung. Percayalah di masa depan Dewi Fortuna bakal menghampiri pasangan selama bekerja keras meski sekarang belum terlihat hasilnya.
Saling mendukung itu tidak hanya akan membawa keberuntungan di sisi finansial, tapi juga rasa nyaman karena ada seseorang yang percaya dan setia mendampingi.
Itulah sedikit pandangan agar kekagetan setelah menikah enggak bikin syok. Apalagi bila sampai mengalami dilema keuangan yang berlarut-larut.
Yakinlah omongan orangtua kalau menikah itu bawa rezeki. Toh, kehadiran dia menjadi pasangan pun sudah merupakan rezeki yang patut disyukuri.
Yang terkait artikel ini:
[Baca: Menikah Bisa Bikin Lebih Makmur, Asal Lakukan 9 Cara Kelola Keuangan Pasangan Ini]
[Baca: Buat Para Pasangan Baru Simak Nih Cara Gampang Mengatur Keuangan Keluarga]
[Baca: Suami-Istri: Jangan Ada Dusta di Antara Kita, Termasuk Soal Utang]