Apa Dasar Hukum Asuransi Syariah di Indonesia? Ini Penjelasannya!
Dasar hukum asuransi syariah adalah hal yang cukup sering dipertanyakan oleh masyarakat Indonesia. Padahal, produk asuransi syariah di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang jelas berdasarkan prinsip-prinsip syariat dan juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah yang menjalankan peran sebagai regulator.
Nah, agar lebih memahami mengenai asuransi syariah dan juga hukumnya, yuk simak ulasan berikut agar tak membuat kamu bertanya-tanya lagi mengenai status hukum dasar asuransi syariah di Indonesia.
Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi syariah adalah jenis asuransi yang pengelolaannya didasarkan dengan prinsip dan syariat Islam. Secara singkat, pengertian asuransi syariah merupakan usaha untuk saling tolong-menolong antara peserta melalui dana yang dikumpulkan atau dana tabarru melalui akad yang sesuai dengan syariat Islam.
Perbedaan asuransi syariah dan konvensional yang paling utama adalah terkait prinsipnya. Prinsip asuransi syariah adalah tolong-menolong atau sharing risk, jadi ketika ada peserta asuransi yang mengalami suatu risiko maka biaya santunan akan dibayarkan dari dana tabarru’ peserta.
Sedangkan, prinsip asuransi konvensional menggunakan transfer risk atau pengalihan risiko dari peserta ke perusahaan asuransi. Santunan yang dibayarkan merupakan bentuk pertanggungan dari perusahaan ke peserta.
Apa Dasar Hukum Asuransi Syariah di Indonesia?
Produk asuransi syariah di Indonesia cukup diminati oleh masyarakat. Sayangnya, masih ada yang masih menganggap hukum asuransi ini belum sepenuhnya halal. Faktanya, asuransi syariah di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang jelas seperti yang tertuang dalam fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga Al Quran serta hadis.
Terkait hal tersebut, pemerintah bersama lembaga terkait, termasuk MUI, terus mengedukasi masyarakat mengenai produk asuransi syariah ini. Bagaimana hukum asuransi menurut agama islam? Dasar hukum yang digunakan untuk menghalalkan produk asuransi syariah meliputi berikut ini:
Hukum Asuransi Syariah Menurut Al Quran dan Hadis
Dasar hukum asuransi syariah dalam Al Quran memang tidak tertulis secara tersurat. Meski begitu, ada 3 dasar hukum asuransi dalam Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist, yaitu:
Berdasarkan ketiga sumber dalil tentang asuransi syariah di atas, bisa disimpulkan bahwa hukum asuransi menurut Islam itu diperbolehkan. Namun dengan catatan, untuk saling tolong-menolong dan tidak mengandung unsur ribawi yang dilarang.
Hukum Asuransi Syariah Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Menurut fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, Islam tidak melarang umatnya untuk memiliki asuransi, asalkan dana yang terkumpul dikelola sesuai dengan syariat. Fatwa MUI yang mempertegas kehalalan asuransi syariah adalah Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001.
Berikut ringkasan mengenai asuransi yang tertuang dalam fatwa MUI:
1. Sebagai bentuk perlindungan
Tak bisa dipungkiri, kita semua memerlukan adanya perlindungan atas semua risiko buruk yang mungkin terjadi. Karena ada kebutuhan tersebut, asuransi syariah hadir dalam bentuk perlindungan terhadap harta dan jiwa seseorang.
2. Terdapat unsur tolong menolong
Dalam asuransi syariah, terdapat unsur tolong-menolong antara sejumlah pihak berbentuk dana tabarru’ yang sesuai dengan syariah Islam. Dana tabarru’ yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk kebaikan dan membantu peserta lain yang terkena risiko.
3. Berbagi risiko dan keuntungan
Di dalam asuransi yang dikelola berdasarkan prinsip syariah, risiko dan keuntungan dibagi rata ke seluruh peserta yang terlibat dalam investasi. Ini dinilai adil dan telah sesuai dengan syariat Islam, karena menurut MUI asuransi hendaknya tidak dilakukan dalam rangka mencari keuntungan saja.
4. Bagian dari bermuamalah
Secara definisi, muamalah adalah bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antar manusia. Sebagai contoh, jual beli, sewa menyewa, utang piutang, dan lain sebagainya. Dasar muamalah inilah yang menjadi landasan produk asuransi syariah.
Menurut fatwa MUI, asuransi merupakan kegiatan bermuamalah karena melibatkan manusia dalam hubungan finansial. Bahkan, segala aturan dan tata caranya saja harus sesuai dengan syariat Islam.
5. Musyawarah asuransi
Fatwa MUI juga menjelaskan, apabila ada salah satu pihak yang tidak menunaikan kewajibannya (dalam hal ini membayar premi atau kontribusi) atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah usai tidak tercapainya kesepakatan melalui musyawarah mufakat.
Premi asuransi syariah adalah kewajiban peserta asuransi syariah dengan membayarkan sejumlah dana kepada perusahaan sesuai kesepakatan dalam akad. Selain fatwa MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001, masih ada beberapa fatwa lain yang menjadi landasan hukum asuransi syariah di Indonesia, seperti:
Hukum Asuransi Syariah Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Tak hanya Al Quran dan fatwa MUI saja, dasar hukum asuransi syariah di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
Landasaan hukum asuransi syariah dari Pemerintah bisa dilihat di BAB I, Pasal I Nomor 1 hingga 3, antara lain:
Asuransi berdasarkan prinsip Syariah adalah usaha saling tolong-menolong (ta’awuni) dan melindungi (takafuli) di antara para nasabah melalui pembentukan kumpulan dana (tabbaru’) yang dikelola dengan prinsip syariah untuk menghadapi risiko tertentu.
Perusahaan adalah perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah.
Nasabah adalah orang atau badan yang menjadi nasabah program asuransi dengan prinsip Syariah, atau perusahaan asuransi yang menjadi nasabah reasuransi dengan prinsip syariah.
Akad dalam Asuransi Syariah yang Harus Diketahui
Dalam asuransi syariah, terdapat akad yang harus disepakati oleh peserta dan juga perusahaan asuransi. Tujuan dari akad ini sendiri bukanlah untuk bisnis melainkan saling tolong-menolong sesama peserta asuransi. Inilah yang menjadi perbedaan antara produk asuransi syariah dan konvensional.
Terdapat dua jenis akad dalam asuransi syariah yang harus kamu tahu, yaitu:
1. Akad Tijarah
Ini adalah akad yang dilakukan untuk tujuan komersil. Maksud tujuan komersil di sini yaitu mudharabah dan wakalah bil ujrah.
Mudharabah sendiri adalah pengelolaan dana investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi (selaku mudharib) yang dananya diperoleh dari kontribusi/premi peserta. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dalam pengelolaan dana investasi bagi semua pihak.
Sementara, wakalah bil ujrah adalah akad di mana peserta memberi kuasa/wakalah kepada perusahaan asuransi sebagai wakil dalam mengelola dana mereka dengan imbalan pemberian fee (ujrah).
2. Akad Tabbaru’
Ini adalah jenis akad yang dilakukan untuk tujuan kebajikan dan tolong-menolong, tidak hanya untuk tujuan komersial semata. Dana kontribusi yang sudah terkumpul akan menjadi dana hibah yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Selanjutnya, dana hibah ini akan dipakai untuk klaim asuransi bagi peserta yang mengalami risiko kerugian ataupun musibah.
Rangkuman Konsep Dasar Asuransi Syariah
Berdasarkan dasar hukum yang sudah dijelaskan di atas, asuransi syariah bisa disimpulkan sebagai produk halal yang bisa dimiliki oleh seluruh umat muslim. Pasalnya, asuransi syariah tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh Islam, yaitu ketidakpastian (gharar), judi (masyir), riba, penganiayaan (zhulm), suap (risywah), barang haram, dan maksiat.
Hal tersebut merupakan sesuatu yang mutlak dalam keuangan syariah. Namun bila dirangkum, asuransi yang halal menurut Islam harus memiliki kriteria berikut ini:
1. Berlandaskan Al Quran
Produk asuransi yang halal haruslah berlandaskan Al Quran dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
2. Akad tabarru’
Bukan hanya berlandaskan Al Quran saja, asuransi yang halal juga harus menggunakan akad tabarru’ dalam pelaksanaannya dan bukan akad jual beli. Selain tabarru’, jenis akad lain yang bisa digunakan dalam asuransi syariah di antaranya akad tijarah dan akad wakalah bil ujrah.
3. Pengelolaan risiko
Untuk pengelolaan risiko sendiri menggunakan prinsip sharing of risk, yang artinya risiko dibebankan atau dibagi kepada perusahaan dan peserta asuransi itu sendiri. Ini berbeda dengan asuransi konvensional yang menggunakan prinsip transfer of risk, yang mana risiko dipindahkan atau dibebankan oleh peserta asuransi kepada pihak asuransi yang bertindak sebagai penanggung.
4. Diawasi oleh Dewan Syariah Nasional
Dalam asuransi syariah, pengawasan dilakukan secara ketat dan dilaksanakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dibentuk langsung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). DSN memiliki perwakilan bernama Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memiliki tugas utama sebagai pengawasan terhadap segala bentuk operasional yang dijalankan dalam asuransi syariah.
5. Pengelolaan premi atau kontribusi
Dalam asuransi syariah, pengelolaan premi atau kontribusi dilakukan secara transparan dan digunakan semaksimal mungkin untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang polis (tertanggung) itu sendiri.
6. Penempatan investasi
Terakhir yang membuat asuransi halal dimiliki oleh umat muslim adalah instrumen investasinya. Di dalam asuransi syariah, investasi tidak dilakukan pada berbagai kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah dan mengandung unsur haram.
Adapun usaha terlarang yang dimaksud seperti perjudian, perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang atau jasa, serta penawaran atau penerimaan palsu.
Jenis Produk Asuransi Syariah
Sama halnya dengan asuransi konvensional, asuransi syariah juga menawarkan produk asuransi yang beragam. Berikut ini merupakan jenis-jenis asuransi syariah yang ada di Indonesia.
1. Takaful Individu
Takaful individu merupakan jenis asuransi yang sifatnya individu, baik perencanaanya maupun manfaat perlindungan yang didapatkan. Beberapa jenis asuransi syariah yang termasuk dalam takaful individu antara lain sebagai berikut.
2. Takaful Kelompok
Merupakan jenis asuransi syariah yang memberikan manfaat perlindungan yang sifatnya kelompok dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Beberapa produk takaful kelompok ini antara lain sebagai berikut.
3. Takaful Umum
Merupakan jenis produk asuransi yang memberikan manfaat perlindungan secara umum seperti risiko kebakaran, risiko bencana alam, risiko kecelakaan kerja sampai risiko pengakutan. Beberapa jenis takaful umum antara lain sebagai berikut.
Asuransi Dalam Literatur-literatur Islam
Dalam literatur Islam klasik, terdapat beberapa akad yang memiliki kemiripan dengan sistem asuransi syariah, yaitu Nidzam Aqilah, Al – Qasamah, Al – Muwalah, dan At – Tanahud. Berikut penjelasan masing-masing.
1. Nidzam Aqilah
Ini merupakan akad yang saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Misalnya, bila salah seorang dari anggota keluarga meninggal dunia, maka pihak keluarga yang lain akan membantu mengumpulkan dana (al-kanzu) yang diperuntukkan untuk membantu keluarga yang ditinggalkan.
Ibnu Hajar Al – Asqolani menjelaskan bahwa sistem Aqila ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. Hal tersebut bahkan tergambar dari sebuah hadits yang menceritakan mengenai pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail.
2. Al – Qasamah
Al – Qasamah adalah sebuah konsep perjanjian yang berhubungan dengan manusia. Konsep ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan dari peserta atau majelis. Nantinya, dana yang terkumpul akan dibayarkan kepada ahli waris yang ditinggalkan.
3. Al – Muwalat
Al – Muwalat adalah perjanjian jaminan di mana seorang akan menjamin seseorang yang tidak memiliki waris dan tidak diketahui ahli warisnya. Penjamin menyetujui untuk menanggung bayaran dia apabila orang yang dijamin melakukan jinayah. Namun, bila orang yang dijamin meninggal, maka penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang tidak ada ahli warisnya.
4. Al – Tanahud
Al – Tanahud diibaratkan sebagai makanan yang dikumpulkan dari para peserta safar yang dicampur menjadi satu. Makanan yang sudah terkumpul nantinya akan dibagikan kepada mereka, meski mereka mendapatkan porsi yang berbeda-beda.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Marga Asy’ari (Asy’ariyin) ketika keluarganya mengalami kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa saja yang mereka miliki. Kemudian, makanan yang sudah terkumpul dibagikan kepada mereka secara merata. Dalam kasus ini, makanan yang dibagikan bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda.
Simak pula ulasan mengenai kelebihan takaful dalam Islam di artikel Lifepal lainnya!
Pertanyaan Seputar Dasar Hukum Asuransi Syariah
Adapun landasan hukum yang dijadikan pedoman dalam merancang produk asuransi syariah adalah:
- Dasar hukum dalam Al Quran dan Hadist: Al Maidah ayat 2, An Nisaa ayat 9, dan riwayat HR Muslim dari Abu Hurairah.
- Dasar hukum menurut Fatwa MUI:
- Fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
- Fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah
- Fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
- Fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah.
Dasar hukum menurut Peraturan Menteri Keuangan: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
- Asuransi Syariah Takaful Keluarga
- Asuransi FWD Life Syariah
- Asuransi Al Amin
- Asuransi JMA Syariah
- Asuransi Allianz Syariah
- Asuransi Prudential Syariah
- Asuransi AIA Syariah