Apa Saja Kerugian Kredit Perumahan (KPR)? Hah? Masak Sih Ada Ruginya?
Banyak bank yang berlomba-lomba menawarkan program kredit pemilikan rumah terbaik dengan harapan menarik lebih banyak nasabah. Kredit pemilikan rumah alias KPR dipandang sebagai juru selamat bagi masyarakat yang hendak memiliki rumah tapi duit tabungan belum cukup.
Tapi ternyata ada anggapan bahwa kerugian kredit perumahan itu ada lho. Yang bikin rugi adalah syarat dan ketentuan yang ditetapkan bank dan developer. Hmm..Apa memang benar begitu?
Namanya orang sudah ngebet pengin punya rumah, biasanya kalau ada tawaran KPR yang dianggap menarik tanpa pikir panjang langsung menyetujuinya. Padahal yang namanya penjual pasti akan mengungkapkan hal-hal baik tentang dagangannya, jarang yang mau membeberkan sisi lemahnya.
Sebagai konsumen, kita wajib memperhatikan semua sisi produk yang ditawarkan. Dalam hal kredit pemilikan rumah, kita harus mengecek syarat dan ketentuan yang menyertai akad alias perjanjian kredit tersebut.
Kerugian Kredit Perumahan Rakyat
Di Indonesia, masyarakat bisa mengambil kredit pemilikan rumah di bank baik syariah maupun nonsyariah. Untuk rumah sederhana, biasanya Bank Tabungan Negara menyediakan banyak pilihan. Syaratnya pun cukup gampang dipenuhi, antara lain:
Meski banyak manfaatnya dan gampang diperoleh, kita juga harus melihat sisi lemah KPR biar gak merasa dirugikan ketika cicilan sudah berjalan. Berikut ini sisi lemah KPR yang harus diperhatikan:
1. Uang Muka
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP, besaran down payment (DP) atau uang muka ditetapkan minimal 30 persen dari harga total rumah. Ketentuan ini tentu memberatkan keuangan terutama masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan.
Walau pemerintah punya program rumah sejahtera, jumlah yang ditawarkan terbatas. Walhasil, banyak yang kelimpungan mencari rumah yang berharga terjangkau. Tapi memang sih program rumah pemerintah itu membantu banget dan syaratnya meringankan, khususnya buat yang gajinya terbatas.
[Baca: Gaji 4 Juta Bisa Beli Rumah, Nyicil Maksimal 20 Tahun]
2. “Jebakan” KTA
Terkait dengan DP rumah 30 persen, banyak yang kemudian mengambil kredit tanpa agunan (KTA) ke bank untuk menutup kekurangan persekot tersebut. Tapi, tak sedikit yang kemudian malah terbelit utang berlipat gara-gara KTA itu.
KTA memang menggiurkan karena gampang didapat dan proses pencairannya cepat. Tapi sebenarnya KTA tidak direkomendasikan dijadikan DP rumah karena sifat KTA itu sendiri.
[Baca: KTA untuk DP KPR: Wow, Mau Bikin Keuangan Jadi Berantakan Ya?]
- Syarat mudah
- Proses pencairan cepat
- Tidak perlu memberikan jaminan untuk mendapat pinjaman
Tapi KTA juga punya kekurangan yang bisa merugikan konsumennya kalau tidak hati-hati. Kekurangan itu antara lain:
- Jangka waktu pelunasan singkat
- Nominal pinjaman kecil
- Bunga besar
Jika menggunakan KTA sebagai DP, otomatis utang kita dobel, yaitu utang KPR dan KTA. Kalau pendapatan cukup dan bisa mengatur keuangan sih gak jadi masalah. Tapi kalau sebaliknya, itu namanya harakiri alias bunuh diri.
3. Semua terserah bank
Kalau beli rumah di kompleks baru, kita cuma bisa ambil KPR di bank yang kerja sama dengan developer kompleks itu. Lebih enak kalau beli rumah second, bisa milih sendiri banknya.
Yang pasti, setiap bank punya ketentuan sendiri seputar KPR. Nasabah gak bisa mengganggu gugat ketentuan itu. Contohnya:
Meski kita punya kenalan notaris, yang menentukan tetap bank. Padahal yang bayar notaris kita selaku konsumen.
Biasanya rumah yang dibeli secara kredit diikutkan asuransi kebakaran dan asuransi jiwa.Nah, kecuali BTN, konsumen hanya bisa memilih produk asuransi yang disodorkan bank tersebut.
Perjanjian KPR biasanya sudah saklek ditentukan bank. Kita harus menerima perjanjian itu apa adanya. Jadi kita wajib baca baik-baik perjanjian itu biar di kemudian hari gak merasa dirugikan.
4. Terancam developer nakal
Gak bisa dimungkiri, masih banyak developer rumah yang nakal. Sayangnya, sekali menandatangani akad KPR, kita gak bisa apa-apa walau dikerjain developer.
Kenakalan itu antara lain membangun rumah tak sesuai dengan spesifikasi yang dikatakan sebelumnya. Terus gagal memenuhi target penyelesaian pembangunan rumah.
Ada lagi yang mengatakan bebas biaya KPR, administrasi, dan lain-lain, padahal biaya itu sudah termasuk harga pembelian rumah.
Bank gak ada urusan dengan developer nakal seperti itu. Pokoknya sekali aplikasi KPR disetujui, ya kita harus membayar cicilan per bulan. Meski kita tak kunjung menempati rumah karena pembangunan molor melulu.
5. Sistem anuitas
Kalau pakai KPR konvensional dari bank dengan sistem anuitas, cicilan kita per bulan mayoritas dipakai buat bayar bunga hingga 5 tahun pertama. Jadi, pokok utang kita masih besar pada tahun-tahun pertama kredit ini.
Misalnya kita ambil kredit Rp 300 juta dengan cicilan tetap Rp 3 juta per bulan selama 2 tahun pertama. Nah, kira-kira 70 persen cicilan itu dipakai buat bayar bunga. Pokok utangnya cuma 30 persen.
Artinya, misalnya nanti pada tahun ketiga kita ada rezeki dan pengin melunasi kredt itu, kita masih harus keluar duit banyak. Soalnya pokok utangnya masih banyak. Yang kita cicil di dua tahun pertama itu lebih banyak buat bunganya doang.
Bank konvensional yang pakai sistem anuitas memang begitu cara kerjanya. Kita gak bisa komplain. Kalau pindah ke bank dengan sistem lain, bisa.
Ya, meski ada sisi lemah yang membuat masyarakat rugi, KPR tetap memberi manfaat yang besar. Coba bayangkan kalau semua rumah harus dibeli secara cash. Harus menabung berapa tahun kita sampai bisa membeli satu unit rumah saja? Apalagi di Jakarta.
[Baca: Beli Rumah Murah di Jakarta Masih Bisa Kok, Begini Caranya…]
Yang perlu kita perhitungkan adalah apakah potensi kerugian ini sebanding dengan manfaat yang kita terima. Caranya, saat hendak membeli rumah lewat KPR, kita wajib cerewet menanyakan kelebihan dan kekurangan produk KPR yang ditawarkan bank tersebut.