Benarkah Kemiskinan Picu Kriminalitas?

kriminalitas

Pandemi Covid-19 memang berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Yang paling mencolok adalah fenomena pemutusan hubungan kerja yang terjadi di mana-mana sehingga memicu peningkatan jumlah pengangguran dan warga miskin. 

Memang, belum ada data resmi mengenai berapa jumlah orang yang jatuh miskin. Namun, fenomena ini memunculkan kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat bahwa meningkatnya kemiskinan akan memicu peningkatan kriminalitas pula.

Tingkat kemiskinan di suatu daerah kerap dikaitkan dengan tingginya angka kriminalitas di daerah tersebut. Namun, riset Lifepal menunjukkan, tingginya persentase warga miskin di daerah tertentu (dalam hal ini provinsi), tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya rasio kriminalitas di provinsi tersebut.

Nyatanya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), menyuguhkan fakta yang berlawanan dengan kekhawatiran masyarakat. Rilis terbaru Korps Bhayangkara menyebut, tingkat kriminalitas di Indonesia justru menurun 27,03% pada pekan ke-21 tahun 2020, atau berkurang 1.010 kasus bila dibandingkan pekan sebelumnya. 

Untuk melihat lebih jauh apakah ada keterkaitan antara tingginya kemiskinan dengan banyaknya tindak kejahatan di suatu daerah, Lifepal membandingkan dua set data. 

Yang pertama adalah data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang persentase warga miskin dari tiap provinsi di Indonesia. 

Data tersebut kemudian dibandingkan dengan data crime rate atau angka kejahatan per 100 ribu penduduk di tiap provinsi yang didapat dari Biro Pengendalian Operasi Mabes Polri.

Kemiskinan di suatu daerah tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya tindak kejahatan di daerah tersebut

Hasil riset data menunjukkan bahwa besarnya persentase warga miskin di suatu provinsi tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya crime rate di provinsi tersebut. 

Jadi, ungkapan mengenai miskin pangkal kriminal sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai premis yang mutlak. Sebab, berdasarkan data yang kami himpun dan bandingkan, fakta yang ditunjukan amat bervariasi.

kriminalitas

Provinsi dengan angka kejahatan per 100 ribu penduduk tertinggi adalah Sulawesi Utara (Sulut). Di peringkat dua ada Papua Barat, disusul Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat. 

Polda Sulut mencatat ada 416 kejahatan per 100 ribu populasi di yurisdiksi mereka sepanjang tahun 2018, menjadikan Sulut ada di posisi teratas dalam daftar tersebut. Namun, uniknya provinsi ini bahkan tidak ada dalam ranking 10 besar provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi. Sulut duduk di peringkat ke-20 dengan persentase jumlah warga miskin 8% saja dari populasinya.

kriminalitas

Persentase warga miskin di Papua Barat berbanding lurus dengan rasio tindak kejahatan

Melihat kembali daftar provinsi dengan persentase penduduk miskin terbanyak, ada Papua Barat yang bertengger di posisi kedua dengan 23% populasinya adalah warga miskin. Uniknya, provinsi ini juga di posisi kedua tertinggi dalam daftar provinsi dengan angka kejahatan per 100 ribu penduduk tertinggi.

Mengapa Papua Barat justru masuk di urutan kedua sebagai provinsi paling rawan kejahatan? Hal itu disebabkan karena jumlah penduduk di Papua Barat di tahun 2018 menurut proyeksi BPS adalah 937.458 jiwa, sedangkan nilai rasio tindak kejahatan diukur berdasarkan 100 ribu penduduk di satu wilayah. Wajar saja, jika tingkat kejahatan di Papua Barat cenderung tinggi. 

Persentase warga miskin di Sulawesi Tengah tidak lebih banyak dari Provinsi Papua, namun tingkat kejahatannya jauh lebih tinggi

Di posisi ketiga daftar provinsi dengan rasio tindak kejahatan tertinggi ada Sulawesi Tengah (Sulteng). Persentase warga miskin di provinsi tersebut adalah 14%, tidak sebesar Papua yang merupakan provinsi dengan persentase warga miskin tertinggi, yakni 27%. Namun, rasio tindak kejahatan di Sulteng jauh lebih tinggi dari Papua.

Lantas apa kabar dengan Papua, provinsi dengan persentase warga miskin mencapai 27%? Pada 22 Mei 2020, terjadi peristiwa pembunuhan terhadap dua tenaga medis Covid-19 oleh kelompok kriminal bersenjata di Papua. Namun apakah Papua yang notabene adalah provinsi termiskin sarat dengan tingkat kriminalitas? Ternyata, data menunjukkan hal itu tidak benar.

Untuk urusan rasio tindak kejahatan per 100 ribu populasinya, Papua hanya ada di urutan ke-8. Rasio tindak kejahatan di provinsi tersebut tidak lebih tinggi dari Sumatera Utara, yang persentase warga miskinnya justru jauh lebih sedikit, yakni hanya 9%.

Kemiskinan juga jelas tidak berkaitan langsung dengan tingginya kriminalitas di Sumbar dan NTB

Persentase warga miskin di Sumatera Barat hanya 7% dari populasi dan menduduki posisi 25 dalam data persentase warga miskin per provinsi. Namun, provinsi ini menduduki posisi 5 teratas daftar rasio kejahatan dengan 243 kejahatan per 100 ribu populasi. 

NTB adalah provinsi termiskin ke-8 di Indonesia dengan persentase warga miskin 15% dari populasi. Akan tetapi, ditinjau dari rasio kriminalitas, NTB hanya duduk di posisi ke-22, dengan rasio kejahatan 130 per 100 ribu populasi.

Catatan penulis

Untuk membuat laporan ini, Lifepal.co.id menggunakan dua set data, yakni data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang persentase warga miskin per provinsi. Yang kedua adalah data crime rate atau angka kejahatan per 100 ribu penduduk, atau yang kerap didefinisikan sebagai angka risiko masyarakat terkena kejahatan di tiap provinsi pada tahun 2018. Data ini didapat dari Biro Pengendalian Operasi Mabes Polri, dan dirangkum dalam Statistik Kriminal BPS 2019.

Kemudian, kami membandingkan kedua set data tersebut dan menganalisis hubungan yang tampak apakah persentase warga miskin di suatu provinsi mempengaruhi rasio tindak kejahatan per 100 ribu penduduk. 

Olah data menggunakan data organization software dan dapat dipertanggung-jawabkan oleh penulis. Ketika mengambil, menyadur, atau mengutip informasi dalam rilis ini diharapkan memberikan tautan ke artikel sumber agar memudahkan pembaca mendapatkan informasi selengkapnya.

Definisi istilah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kriminal diartikan sebagai pelanggaran hukum yang dapat dihukum menurut undang-undang pidana. 

Sementara itu, definisi warga miskin menurut BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) adalah hasil penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).

GKM dapat diartikan sebagai nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori (Kkal) per kapita per hari. Sementara itu, pengeluaran yang termasuk dalam GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

Berdasarkan data Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi yang dipublikasikan oleh BPS, lima provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar tahun 2019 adalah Gorontalo (15,31%), Maluku (17,65%), Nusa Tenggara Timur atau NTT (20,62%), Papua Barat (21,51%), dan Papua (26,55%). 

Dalam rentang tahun 2016 hingga 2018 pun, data dari BPS tidak menunjukkan adanya pergantian peringkat dari lima provinsi termiskin di Indonesia itu. Gorontalo, Maluku, NTT, Papua Barat, dan Papua bergeming di posisi yang sama meski grafik angka kemiskinan di provinsi tersebut tampak berkurang.