Bisakah KPR dengan PPJB Sebagai Jaminan? Cari Tahu Bareng-bareng Yuk
Kredit pemilikan rumah (KPR) adalah impian banyak orang. Tapi impian itu bisa berujung malapetaka jika kita gak teliti memanfaatkannya.
Ini terutama kalau kita membeli rumah dari orang lain alias rumah second. Dalam KPR, ada yang namanya PPJB alias perjanjian pengikatan jual beli.
Penandatanganan PPJB menjadi tahap dalam proses KPR. Jika membeli rumah baru atau langsung dari developer, PPJB akan disepakati sebelum dilakukan akad kredit.
PPJB mengatur sejumlah hal terkait dengan jual beli rumah atau properti lainnya, antara lain:
- Penjelasan detail tentang tanah dan bangunan yang ditransaksikan. Di antaranya luas tanah+bangunan dan segala perizinan terkait, misalnya izin mendirikan bangunan (IMB).
- Harga tanah per meter dan keseluruhan, termasuk metode pembayaran. Apakah tunai atau kredit.
- Hal yang menyebabkan perjanjian jual beli batal. Contohnya pembangunan rumah molor. Jika begini, developer bisa diminta mengembalikan uang muka. Sebaliknya, jika calon pembeli membatalkan transaksi sepihak, uang muka bisa dianggap hangus.
- Penjelasan kewajiban pembayaran pajak dan biaya lain, contohnya untuk notaris/PPAT.
Selain empat poin itu, ada satu item penting yang bisa masuk PPJB. Yakni surat pernyataan bahwa bangunan dan tanah bebas dari sengketa. Jika di kemudian hari ditemukan sengketa, pihak penjual bisa dituntut ke muka hukum.
Nah, soal hubungan bahaya KPR dengan PPJB akan kita bahas berikut ini. Seperti disebutkan di atas, PPJB erat kaitannya dengan pembelian rumah baru langsung dari developer.
Namun beli rumah second juga harus pakai PPJB. Yang jadi masalah, kadang pembelian rumah second hanya mengandalkan PPJB, tanpa dokumen lain, termasuk sertifikat hak milik.
Ini yang bahaya. Muncul pertanyaan, bisakah KPR dengan PPJB sebagai jaminan?
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, agunan alias jaminan kredit hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Artinya, dalam KPR, yang jadi jaminan ya tanah dan bangunan terkait.
Walhasil, KPR dengan PPJB sebagai jaminan tidak punya dasar hukum yang kuat. Calon pembeli rentan mengalami masalah jika membeli rumah dengan jaminan PPJB saja.
Di atas sudah dikatakan, PPJB hanyalah salah satu tahap dalam transaksi rumah. Sejumlah bank akan memberikan lampu hijau buat KPR dengan PPJB sebagai jaminan, tapi khusus untuk rumah baru saja.
Itu pun developer-nya harus yang bekerja sama dengan bank tersebut. Jadi, kita gak bisa milih bank sendiri di luar daftar pilihan bank yang disodorkan developer.
Jika hendak membeli rumah second, sebaiknya seluruh dokumen dipastikan sudah lengkap. Di antaranya akta jual beli dan sertifikat kepemilikan. Dengan begitu, transaksi bisa lebih aman.
Meski begitu, di lapangan ada saja kejadian orang jual rumah dengan dokumen sebatas PPJB. Memang, orang itu belum mendapat surat kepemilikan dari developer, karena masih diurus.
KPR orang itu pun belum lunas. Masalahnya, jika kita membeli rumah dalam kondisi begini, status kita gak jelas di mata bank maupun developer.
Bank tahunya menandatangani perjanjian KPR dengan si penjual rumah. Begitu juga sang developer.
Kalau kita melakukan transaksi langsung dengan empunya rumah, itu berarti kita bertransaksi di balik meja. Risikonya luar biasa.
Bisa-bisa rumah itu kelak diketahui dalam sengketa. Atau developer ternyata gak bertanggung jawab menyelesaikan pembangunan. Kalau begitu kejadiannya, kita gak bisa ngapa-ngapain karena gak punya dasar hukum.
Sebaiknya, pilih opsi over kredit jika hendak beli rumah yang sudah dibeli orang tapi dijual kembali seperti dalam kasus ini. Jadi, semua pihak terkait terlibat dalam transaksi, dari bank hingga developer.
Dengan demikian, risiko konflik seputar rumah pada masa mendatang bisa dihindari. Sebab, nama kita sudah terdaftar sebagai pihak yang terkait dengan transaksi KPR. Kita pun bisa menuntut developer jika macam-macam.