Udah Jorjoran Ngeluarin Modal tapi Kenapa Bisnis Kuliner Selalu Sepi?

bisnis kuliner

Melakoni bisnis kuliner emang gak bisa secara instan langsung sukses. Semua ada prosesnya untuk bisa mencapainya ke sana. Bahkan ada nih ada yang mengeluarkan modal jorjoran tapi tetap aja bisnis kulinernya sepi, kira-kira kenapa ya? 

Dalam masa proses mengenalkan bisnis makanan yang perlu kamu perlu lakukan adalah terus berinovasi. Bukan sekadar teori, inovasi menjadi salah satu penentu kesuksesan sebuah bisnis. 

Bisnis di bidang kuliner sejatinya gak bakal kehilangan pelangggan. Karena namanya makanan adalah kebutuhan mendasar manusia, jadi pasti semuanya membutuhkannya. Tapi hal itu juga bukan jadi jaminan kalau bisnis bakalan sukses.

Buktinya, banyak pengusaha yang udah keluar uang besar buat membangun bisnis makanan atau minuman, tapi pembelinya sepi-sepi aja. Nah kira-kira apa ya penyebabnya? 

Baca juga: Cuma Bermodalkan Rp 5 Juta, Coba 12 Peluang Usaha yang Menjanjikan Tahun Ini

1. Kualitas rasanya B aja 

bisnis kuliner
Bisnis makakan mu sepi bisa jadi karena rasanya sebetulnya B aja, alias biasa aja, (Ilustrasi/Shutterstock).

Semua bisnis yang menjual makanan dan minuman paling utama adalah soal rasa. Kalau kamu menjual makanan tapi rasanya biasa-biasa saja, bahkan cenderung kurang enak, jangan harap warung mu bakalan ramai pengunjung. 

Inilah kesalahan yang sering dilakukan oleh para pebisnis kuliner, ketika mereka belum memiliki resep dewa racikan sendiri, tapi sudah berani buka cuma gara-gara punya modal banyak. 

Gak ada alasan buat pembeli buat mengunjungi warung mu berkali-kali kalau rasanya biasa saja. Yang ada mereka malah menyebarkan testimoni negatif ke orang-orang. 

Buat meningkatkan kualitas rasa, kamu bisa melakukan riset terlebih dahulu. Pelajari setiap rasa masakan ke restoran-restoran yang udah terkenal ramainya.

Kalau mau yang lebih mudah, angkat juru masak atau kepala koki yang memiliki kualitas memasak jempolan. Seandainya modal bukan lagi masalah, kamu bisa merekrut mereka dari restoran-restoran ternama dengan menawarkannya gaji yang lebih besar. 

Lakukan pengujian terhadap setiap menu yang hendak dijual ke keluarga atau kerabat terdekat. Tanyakan setiap pendapat mereka soal masakan tersebut. Semakin banyak mendapatkan testimoni positif maka semakin besar pula tingkat kecocokan antara masakan kamu dengan lidah orang-orang. 

2. Salah menentukan harga

bisnis kuliner
Salah menentukan harga juga bisa nih bisnis makanan kamu sepi, (Ilustrasi/Shutterstock).

Selain itu harga juga bisa jadi menentukan laris atau gaknya sebuah bisnis kuliner. Soal harga gak bisa sembarangan asal matok aja, harus ada hal-hal yang dijadikan pertimbangan. 

Pertama yang udah pasti adalah biaya produksinya. Buat menentukan harga kamu harus menyesuaikan dengan total pengeluaran mu buat  membuat menu tersebut. Misalnya menu mie goreng, hitung dengan detail berapa harga bahan bakunya seporsi seperti mie, bumbu-bumbu dan bahan lainnya. 

Gaji karyawan juga perlu kamu masukkan dalam perhitungan. Kira-kira butuh berapa porsi terjual buat menutupi tanggung jawab mu terhadap karyawan. Dari situ kamu bisa menentukan harga yang pas setiap menunya. 

Dan yang gak kalah penting adalah, lihat mangsa pasarnya. Kalau kamu membuka bisnis kuliner di area kampus, maka harus disesuaikan pula dengan bujet kantong mahasiswa yang terbilang pas-pasan. Jangan harap mahasiswa tersebut menghampiri warung makanan berkali-kali kalau harga yang dipatok setiap menunya kemahalan.

3. Lokasinya kurang strategis

bisnis kuliner
Lokasi yang gak strategis juga bisa salah satu alasan restoran atau bisnis makanan mu gak laku, (Ilustrasi/Shutterstock).

Lokasi juga menentukan bisnis kuliner bisa ramai atau tidak. Bukan berarti kamu harus mencarinya di pinggir jalan besar atau di mall-mall besar. 

Tapi carilah lokasi yang kira-kira strategis buat target pasar mu dan disesuaikan dengan konsep warung. Misalnya kamu membuka warung murah meriah buat kalangan mahasiswa, carilah lokasi yang strategis, misal di daerah yang kanan kirinya banyak kos-kosan. 

Atau kalau kamu membuka restoran khusus keluarga dan menawarkan kehangatan, carilah tempat yang kira-kira menawarkan keindahan pemandangan dan kesejukan, bisa di daerah-daerah sejuk seperti puncak, atau di tengah sawah sekalipun. 

4. Kurangnya publikasi 

bisnis kuliner
Kurangnya promo juga bisa salah satu alasan nih kenapa bisnis makanan kamu sepi banget dari pelanggan, (Ilustrasi/Shutterstock).

Publikasi merupakan strategi terjitu buat memperkenalkan bisnis kuliner ke khalayak luas. Tanpa publikasi tentu sulit buat menjaring banyak pembeli.

Kamu bisa melakukan publikasi melalui media sosial ataupun sekadar dari mulut ke mulut. Kalau dari media sosial, kamu harus mengeluarkan bujet lebih buat membayar layanan iklan, si Facebook dan Instagram misalnya. 

Bisa juga membayar selebgram atau blogger dengan banyak pengikut buat mereview masakan yang kamu hidangkan. Akan sangat efektif menjaring banyak pembeli kalau mereka memberikan penilaian yang positif. 

5. Kurang inovasi 

bisnis kuliner
Kurangnya inovasi dalam bentuk penyajian bahkan varian rasa juga bisa nih salah satu penyebabnya kenapa sepi bisnis makanan kamu, (Ilustrasi/Shutterstock).

Yang terpenting adalah inovasi, khususnya berkaitan dengan menu-menu yang dijajakan entah itu resep, maupun cara penyajiannya. Buatlah gebrakan-gebrakan kreatif yang disesuaikan dengan perkembangan selera masyarakat. 

Karena pasalnya, salah satu akibat dari keengganan konsumen mengunjungi warung makanan berkali-kali adalah karena menunya yang itu-itu saja. Mereka merasa bosan dengan menu yang selalu sama antara satu warung dengan warung lainnya. 

Oleh sebabnya, muncul kecenderungan masyarakat selalu mencoba hal-hal baru, misalnya menjajal warung yang baru buka, atau menjajal resto yang memiliki keunikan dari pada lainnya.

Nah, itulah lima kemungkinan yang menyebabkan bisnis kuliner sepi pengunjung. Kalau dirangkum lagi, intinya sih pengusaha cuma butuh tiga hal, pertama yaitu riset entah itu mengenai lokasi, harga, mangsa pasar, dan kualitas rasa, kedua publikasi, paling ampuh lewat media sosial, dan terakhir adalah inovasi yang gak ada henti-hentinya. (Editor: Mahardian Prawira Bhisma)