Devaluasi adalah Penurunan Nilai Mata Uang, Ini Tujuannya

Devaluasi adalah

Mungkin sebagian besar dari kamu pernah mendengar istilah devaluasi. Yap, bisa dikatakan bahwa istilah tersebut adalah kebalikan dari inflasi yang sering kita dengar.

Kalau misalkan kita mengetahui bahwa inflasi menyebabkan harga komoditas meningkat karena daya beli yang juga meningkat, apakah devaluasi kebalikan dari kondisi tersebut?

Nah langsung aja yuk kita simak ulasan lengkap mengenai istilah ekonomi yang satu ini!

Pengertian Devaluasi

Devaluasi adalah kebijakan pemerintah dalam menurunkan nilai mata uang lokal suatu negara terhadap nilai mata uang asing. Artinya, mata uang suatu negara memiliki kurs atau harga yang semakin murah secara internasional.

Keadaan devaluasi ini akan sangat berdampak terhadap perekonomian suatu negara, terutama pada kegiatan perdagangan internasional. Nah, sebenarnya kenapa kebijakan ini diambil? Yuk, cari tahu bersama.

Faktor-Faktor yang Menjadi Penyebab Devaluasi

Faktor penting yang menjadi penyebab devaluasi adalah aktivitas impor. Volume impor yang tinggi terhadap suatu komoditas dari luar negeri yang tidak diimbangi dengan aktivitas ekspor yang sepadan akan mengakibatkan semakin tingginya permintaan konversi nilai mata uang lokal menjadi mata uang asing.

Misalnya, konversi dari rupiah ke dolar. Jika permintaan semakin tinggi, maka kurs beli terhadap dolar akan naik dan nilai rupiah akan semakin turun sehingga terjadilah inflasi. Oleh sebab itu, kebijakan devaluasi dikeluarkan pemerintah sebagai salah satu cara menyelesaikan masalah ini agar keuangan negara kembali stabil.

Selain kebutuhan impor yang tinggi, devaluasi juga bisa disebabkan oleh kegiatan ekspor yang hanya bertumpu pada bahan pangan dan biota laut. Bisa juga karena besarnya tingkat pengangguran sebuah negara.

Tujuan Pemerintah Menerapkan Devaluasi

Dengan menurunkan nilai mata uang, pemerintah sebenarnya tengah berusaha untuk mendorong aktivitas ekspor dan membatasi impor. Hal ini bertujuan memperbaiki posisi balance of payment (BOP) dan balance of trade (BOT) agar menjadi equilibrium (setara/seimbang) atau setidaknya mendekati equilibrium. Dengan tercapainya keseimbangan BOP diharapkan nilai kurs valuta asing dapat menjadi relatif stabil.

Ketika nilai mata uang asing naik, harga barang impor menjadi lebih mahal dibanding barang produksi dalam negeri. Harapannya adalah penggunaan produksi dalam negeri pun meningkat karena masyarakat cenderung memilih barang yang harganya lebih terjangkau. Namun ketika hal ini terjadi, ada juga dampak negatifnya, lho.

Dampak Menerapkan Devaluasi

Dalam jangka pendek, tindakan devaluasi dapat menggeser pengeluaran atau expenditure switching dari konsumsi produk luar negeri kepada konsumsi produk dalam negeri.

Pergeseran konsumsi ini dapat berakibat terhadap kenaikan harga barang dan jasa dalam negeri sebab permintaan atas barang yang naik.

Nah, kenaikan harga ini akan berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat yang cenderung turun. Penurunan konsumsi dapat menyebabkan turunnya aktivitas ekonomi yang dapat mendorong terjadinya deflasi.

Pada kelanjutannya, kondisi ekonomi ini dapat mengakibatkan terjadinya resesi ekonomi. Selain itu, warga lokal yang memiliki utang luar negeri akan semakin bertambah nilai utangnya.

Dalam jangka menengah, tindakan devaluasi dapat memperbaiki BOP dan BOT melalui mekanisme elastisitas permintaan ekspor dan impor sesuai dengan Marshall-Lerner-Condition.

Kondisi Marshal Lerner adalah suatu kondisi saat devaluasi riil atau depresiasi riil dapat memperbaiki neraca perdagangan jika nilai elastisitas (nilai absolut) permintaan impor dan ekspor terhadap nilai tukar riil lebih daripada satu. Selain itu, devaluasi dapat juga memperbaiki posisi BOP melalui mekanisme moneter.

Sedangkan, dampak jangka panjang biasanya merupakan akibat dari dampak yang terjadi pada jangka pendek dan menengah. Begini penjelasannya, dalam jangka pendek terjadi perubahan harga produk dan pergeseran konsumsi diikuti dengan peningkatan aliran modal atau devisa pada jangka menengah.

Nah, dampak ini nantinya akan menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau production switching, baik yang menyangkut tradeable goods maupun non-tradeable goods. Pergeseran produksi ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi secara nasional.

Selain beberapa dampak jangka pendek, menengah, dan panjang tersebut, ada beberapa pengaruh dalam perekonomian suatu negara.

1. Berkurangnya volume impor

Devaluasi menyebabkan harga barang luar negeri semakin mahal sehingga masyarakat akan semakin kesulitan untuk membelinya. Hal tersebut secara bertahap akan mengubah pola pikir masyarakat untuk membeli barang dalam negeri sehingga volume impor semakin berkurang.

Di sisi lain, konsumsi barang lokal akan semakin meningkat yang dapat memengaruhi pendapatan perkapita suatu negara.

2. Bertambahnya volume ekspor

Jika nilai mata uang lokal rendah di dunia internasional, harga barang lokal juga akan dirasa murah oleh warga asing. Hal ini akan mendorong permintaan barang oleh masyarakat luar negeri sehingga volume ekspor dapat bertambah. Peningkatan ekspor dapat meningkatkan jumlah peredaran mata uang asing seperti dolar dalam suatu negara sehingga dapat memperbaiki posisi BOP dan BOT.

3. Barang lokal semakin bersaing

Kondisi devaluasi dapat menjadi salah satu batu loncatan pengusaha lokal untuk bersaing di pasar internasional. Barang lokal yang ditawarkan kepada masyarakat luar negeri akan semakin beragam.

Bahkan harga barang lokal yang dianggap murah di luar negeri mengubah pola pikir masyarakat asing sehingga mereka lebih memilih barang impor yang murah daripada barang lokal mereka yang cenderung lebih mahal.

Selain itu, keadaan tersebut juga akan menyebabkan pengusaha lokal di luar negeri menurunkan harganya.

4. Meningkatkan devisa

Saat volume ekspor lebih tinggi dibandingkan volume impor, hal itu akan memberikan keuntungan dalam perdagangan internasional sehingga cadangan devisa meningkat. Cadangan devisa tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan maupun mendirikan suatu perusahaan yang dapat menyediakan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran.

Sejarah Devaluasi di Indonesia

Apakah Indonesia pernah menerapkan kebijakan devaluasi? Pernah. Bahkan sepanjang sejarah, Indonesia telah menerapkannya sebanyak lima kali. Meskipun dalam jangka pendek, kebijakan ini punya dampak negatif, namun sebagai langkah tersebut dinilai sebagai salah satu upaya mendasar untuk menstabilkan perekonomian negara.

Berikut ini beberapa kebijakan devaluasi yang pernah dilakukan pemerintah Indonesia.

1. Devaluasi 30 Maret 1950

Pemerintahan Presiden Soekarno, melalui Menkeu Syafrudin Prawiranegara (Masyumi, Kabinet Hatta RIS) pada 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan pengguntingan uang. Syafrudin Prawiranegara menggunting uang kertas bernilai Rp5 ke atas sehingga nilainya berkurang separuh. Tindakan ini dikenal sebagai “Gunting Syafrudin”.

2. Devaluasi 24 Agustus 1959

Pada 24 Agustus 1959, semasa pemerintahannya, Presiden Soekarno melalui Menteri Keuangannya yang dirangkap oleh Menteri Pertama Djuanda menurunkan nilai mata uang Rp1.000 yang bergambar gajah dan Rp 500 yang bergambar macan. Diturunkan nilainya hanya jadi Rp100 dan Rp50. Pemerintah juga melakukan pembekuan terhadap semua simpanan di bank-bank yang melebihi jumlah Rp25 ribu.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai rupiah dan rakyat kecil tidak dirugikan. Namun, kebijakan ini ternyata tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi secara keseluruhan.

3. Devaluasi tahun 1966

Imbas dari tindakan embargo yang dilancarkan oleh sekutu kapitalis dan imperialis terhadap Indonesia karena berani menentang pembentukan negara boneka di kawasan Asia Tenggara oleh Inggris dan AS. Waperdam III Chairul Saleh terjeblos dalam tindakan ekstrim, mengganti uang lama dengan uang baru dengan kurs Rp1.000 akan diganti Rp1 baru.

Akibat inflasi yang tidak terkendali itulah terjadi lonjakan 650% dan Bung Karno dipaksa untuk mengeluarkan Supersemar 11 Maret 1966 yang semakin mengukuhkan pemberontakan Soeharto sejak menolak dipanggil ke Halim oleh Panglima Polim tertinggi pada 1 Oktober 1965.

4. Devaluasi 21 Agustus 1971

Masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) melalui Menkeu Ali Wardhana. Amerika Serikat pada 15 Agustus 1971 harus menghentikan pertukaran dolar dengan emas. Presiden Richard Nixon cemas dengan terkurasnya cadangan emas AS jika dolar dibolehkan terus ditukar emas, sedang nilai waktu itu US$34,00 sudah bisa membeli 1 ons emas.

Soeharto tidak bisa mengelak dari dampak gebrakan Nixon dan Indonesia mendevaluasi rupiah pada 21 Agustus 1971 dari Rp378 menjadi Rp415 per 1 US$.

5. Devaluasi 15 November 1978

Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Ali Wardhana. Walaupun Indonesia mendapat rezeki kenaikan harga minyak akibat Perang Arab-Israel 1973, tetapi Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang US$10 miliar dan Ibnu Sutowo mengundurkan diri sebagai dirut pada 1976. Tetap tidak bisa dihindari devaluasi kedua oleh Soeharto pada 15 November 1978 dari Rp415 menjadi Rp625 per 1 US$.

6. Devaluasi 30 Maret 1983

Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada saat itu Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48%, jadi hampir sama dengan menggunting nilai separuh. Kurs 1 dolar AS naik dari Rp702,50 menjadi Rp970,00.

7. Devaluasi 12 September 1986

Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada 12 September 1986 Radius Prawiro kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%, dari Rp1.134 ke Rp1.664 per 1 dolar AS.

Itu tadi penjelasan singkat tentang dampak devaluasi terhadap perekonomian suatu negara. Semoga bisa menambah pengetahuan kita.