Mengenal Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
Dalam dunia industri maupun bisnis, keberadaan karyawan adalah faktor yang krusial. Tanpa karyawan, pemilik bisnis tentu kesulitan mengelola bisnisnya. Namun di sisi lain, karyawan juga tidak bisa bertindak sesuka hati saat melaksanakan kewajiban di tempat kerja.
Oleh sebab itu, keberadaan hukum ketenagakerjaan menjadi penting untuk mengatur hubungan antara pemilik usaha dengan karyawan.
Pengertian hukum ketenagakerjaan
Untuk memudahkan pemahaman mengenai pengertian hukum ketenagakerjaan, kita akan coba jelaskan definisinya dari sudut pandang ahli dan undang-undang.
Definisi hukum ketenagakerjaan menurut para ahli
Terdapat empat pendapat ahli yang menjelaskan tentang definisi hukum ketenagakerjaan atau hukum perburuhan. Penjelasan secara lebih detail bisa dilihat pada tabel berikut.
Pendapat Ahli | Definisi Hukum Ketenagakerjaan |
Soetiksno | Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seorang secara pribadi ditempatkan di bawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja tersebut. |
Profesor Imam Soepomo Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 2000 | Himpunan dari peraturan, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. |
Molenaar | Bagian dari hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan antara buru dan majikan, buruh dengan buruh dan buruh dengan penguasa. |
NEH Van Asveld | Hukum yang bersangkutan dengan pekerjaan di dalam hubungan kerja dan di luar hubungan kerja. |
Definisi hukum ketenagakerjaan berdasarkan UUD 1945
Definisi hukum ketenagakerjaan sendiri adalah hukum yang bersangkutan dengan pekerjaan di dalam hubungan kerja dan di luar hubungan kerja. Dasar hukum dari hukum ketenagakerjaan adalah adalah:
Dari pondasi UUD 1945 tersebut, maka terbentuklah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut sebagai UU Ketenagakerjaan yang menjadi dasar hukum dalam bidang ketenagakerjaan.
Cakupan UU dan hukum ketenagakerjaan
Pada dasarnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah dibahas secara lengkap dan rinci tentang seluruh kewajiban perusahaan terhadap karyawan dan hak apa saja yang berhak didapatkan oleh karyawan. Namun, hal-hal apa sajakah yang diatur di dalamnya?
1. Peraturan jam kerja dan waktu lembur
Dasar hukum peraturan jam kerja dan waktu lembur diatur dalam pasal 77 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Peraturan jam kerja karyawan yang berlaku adalah:
Selain itu, perusahaan juga diperbolehkan meminta karyawan untuk melakukan lembur apabila diperlukan, namun waktu kerjanya harus sesuai dengan kebijakan yang telah diatur dalam pasal 78 UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, merupakan:
2. Istirahat dan cuti karyawan
Tidak hanya mengatur tentang peraturan jam kerja, hukum ketenagakerjaan juga mengatur lamanya waktu bekerja sesuai dengan pasal 79 ayat 2 UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, yaitu:
Selain istirahat karyawan, disebutkan juga kebijakan tentang cuti karyawan. Bagi karyawan yang sudah bekerja minimal 12 bulan atau 1 tahun berturut-turut berhak mendapatkan cuti sekurang-kurangnya 12 hari dalam setahun.
Namun dengan catatan bahwa perusahaan juga dapat menyesuaikan ketentuan cuti karyawan berdasarkan perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perusahaan yang telah disepakati oleh perusahaan dan karyawan.
3. Struktur skala upah karyawan
Dalam pasal 88 ayat 1 UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2013 yang berisi bahwa setiap karyawan/pekerja/buruh berhak mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka secara layak dari segi kemanusiaan.
Berdasarkan hukum ketenagakerjaan tersebut, maka dalam menyusun struktur dan skala upah, pengusaha perlu mempertimbangkan golongan, masa kerja, jabatan, pendidikan, dan kompetensi bekerja masing-masing karyawan.
Selain itu, pengusaha juga harus mengadakan penyesuaian secara berkala berdasarkan kemampuan perusahaan dan produktivitas karyawan. Idealnya, bila merujuk dari UU Ketenagakerjaan, komponen struktur skala upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap.
Dengan besar jumlah upah pokok minimal sebesar 75 persen dari total jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Selain itu, diatur pula apabila perusahaan terlambat membayar upah, maka akan dikenakan denda sesuai persentase tertentu dari upah karyawan.
4. Kebijakan khusus karyawan perempuan
UU Ketenagakerjaan juga memiliki kebijakan khusus karyawan perempuan yang dapat diterapkan dalam perusahaan. Di antaranya adalah:
5. Berbagai hak lain yang dimiliki karyawan
Selain empat kebijakan kerja di atas, hukum ketenagakerjaan juga mengatur hak-hak karyawan lain yang bisa didapatkan karyawan. Di antaranya sebagai berikut.
Ketentuan upah berdasarkan hukum ketenagakerjaan
Upah adalah salah satu elemen penting dalam hubungan industrial yang menyangkut pemenuhan hak karyawan. Dan inilah aturan upah karyawan sesuai hukum ketenagakerjaan yang ada di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
1. Kompensasi berdasarkan himbauan pemerintah
Dalam pasal 88 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh sebab itu, pemerintah meminta perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada karyawan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut.
Pada pasal yang sama di ayat 4 menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) berdasarkan kebutuhan hidup layak, produktivitas, serta pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, pemerintah melarang pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum sebagaimana diatur pada Pasal 90.
Bila pengusaha memiliki keberatan dalam melakukan pembayaran upah minimum, maka ia harus melakukan penangguhan, sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
2. Dasar pengupahan karyawan
Dasar pengupahan karyawan menurut PP 78 tahun 2015 adalah upah dapat ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil. Upah berdasarkan satuan waktu yang dimaksud dalam peraturan ini adalah ditetapkan secara harian, mingguan, atau bulanan.
Upah berdasarkan satuan waktu
Dalam upah yang ditetapkan secara harian, maka penghitungan upah dalam sehari adalah sebagai berikut
Upah berdasarkan satuan hasil
Selain upah berdasarkan satuan waktu, penetapan upah berdasarkan satuan hasil disesuaikan dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati antara pengusaha dan karyawan. Menurut PP ini juga, pengusaha wajib untuk membayarkan upah pada waktu yang telah dijanjikan antara pengusaha dan karyawan sesuai kesepakatan.
3. Komponen dasar upah karyawan
Komponen dasar upah karyawan sesuai hukum ketenagakerjaan telah diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No.SE/07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah. Adapun komponen-komponen upah tersebut adalah:
4. Jenis tunjangan karyawan
Tunjangan adalah tambahan gaji di luar gaji pokok yang diberikan kepada karyawan dan menjadi komponen pelengkap dari total gaji dimana bentuknya dapat berupa uang maupun program-program pelayanan untuk karyawan.
Tujuan tunjangan ini adalah untuk mempertahankan karyawan atau membuat mereka betah di perusahaan, baik yang bersifat tetap maupun tidak tetap. Untuk tunjangan yang diberikan dalam bentuk program, contohnya:
Ada juga yang namanya tunjangan dasar. Sesuai namanya, tunjangan ini menjadi hak karyawan seiring dengan munculnya kondisi-kondisi tertentu. Setidaknya ada lima jenis tunjangan dasar bagi karyawan, yaitu:
Jenis Tunjangan | Penjelasan |
Tunjangan istri dan anak | Diberikan pada karyawan yang sudah menikah dengan dasar hukum PP Nomor 7 Tahun 1977 dimana tunjangan anak dibatasi hingga maksimal tiga anak yang berusia kurang dari 21 tahun dan belum memiliki penghasilan sendiri. |
Tunjangan jabatan | Tunjangan ini diberikan untuk karyawan yang punya jabatan di perusahaan baik struktural maupun fungsional. |
Tunjangan kesehatan | Tunjangan yang diberikan agar karyawan selalu dapat mengusahakan kesehatan mereka. Di Indonesia, setiap perusahaan diwajibkan mendaftarkan semua karyawannya dalam program BPJS Kesehatan. |
Tunjangan Hari Raya (THR) | Tambahan gaji yang senilai dengan sebulan gaji pokok ini biasanya diberikan menjelang hari keagamaan. Namun hitungan berbeda, akan berlaku bagi karyawan dengan masa kerja kurang dari sebulan. |
Tunjangan makan siang | Tunjangan tidak tetap ini biasanya diberikan berupa uang satu kali makan selama satu bulan secara kumulatif bersamaan dengan gaji pokok. Tapi bisa juga diberikan dalam bentuk katering atau hidangan makan siang untuk semua karyawan. |
5. Peraturan lembur
Ketentuan upah menurut hukum ketenagakerjaan mencakup pada peraturan lembur. Setiap pengusaha diwajibkan untuk membayar upah kerja lembur jika mempekerjakan karyawan melebihi waktu kerja yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
Pemberlakuan lembur ini pun harus memenuhi syarat antara lain terdapat persetujuan dari karyawan yang bersangkutan serta maksimal waktu lembur selama 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu, namun yang mana tidak termasuk lembur pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi.
Cara menghitung upah yang didasarkan pada upah bulanan dapat dihitung dengan 1/173 dikali upah sebulan yang terdiri dari gaji pokok dan tunjangan tetap.
Istilah-istilah terkait dengan pengenaan hukum ketenagakerjaan
Terkait dengan jenis-jenis pekerjaan dan istilah khusus yang dilindungi dalam hukum ketenagakerjaan, kita akan telaah satu demi satu.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
PKWT adalah status yang diberikan kepada karyawan yang terikat kontrak kerja dengan suatu perusahaan dalam jangka waktu yang terbatas atau dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Pekerja PKWT disebut juga dengan pekerja kontrak.
Jika bukan ditentukan oleh waktu, maka pekerja ini terikat kontrak hingga selesainya sebuah pekerjaan atau proyek. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 Angka 14 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mana bunyinya sebagai berikut.
Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. |
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Pekerja dengan status PKWTT atau disebut pula dengan pekerja tetap terikat oleh perjanjian kerja yang pada dasarnya tidak terbatas pada waktu atau jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan.
Meski begitu, pihak penyedia pekerjaan pada umumnya mensyaratkan suatu waktu percobaan (probation) selama paling lama tiga bulan. Selama durasi percobaan itu, pekerja bersangkutan akan menjalani masa penilaian yang akan menentukan perpanjangan kontrak.
Pekerja tetap yang telah melewati masa percobaan tetap bisa dikenakan pemecatan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) jika terbukti tidak berkontribusi kepada perusahaan atau melakukan tindakan kriminal.
Di lain sisi, pekerja tetap yang bekerja dengan baik berhak mengajukan pengunduran diri (resign) kapan saja sesuai kemauan sendiri dengan mengikuti kebijakan perusahaan yang telah disepakati.
Outsourcing
Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. |
Pasal 64 tersebut menjadi dasar ketentuan bagi keberlangsungan operasional perusahaan outsourcing atau dinamakan perusahaan penyedia jasa pekerja.
Pekerja yang berstatus outsourcing atau umumnya disebut dengan pekerja outsource disalurkan dari sebuah perusahaan penyedia jasa pekerja. Perusahaan ini yang akan menjalin kerja sama operasional dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Kontrak seorang pekerja outsource adalah dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, namun dia bekerja untuk perusahaan pemberi pekerjaan dalam kurun waktu atau jumlah pekerjaan tertentu sesuai kesepakatan di awal.
Umumnya, pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja berkenaan dengan bidang berikut.
Cuti karyawan
Cuti adalah hak pekerja yang berarti pembebasan dari semua kewajiban yang berkenaan dengan tanggung jawab pekerjaannya sesuai kesepakatan dengan pihak pemberi pekerjaan.
Ketentuan cuti bisa terbatas dalam jangka waktu harian, mingguan, atau bulanan. Ketentuan mengenai jumlah cuti karyawan diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan setiap perusahaan resmi wajib mengikutinya.
Pekerja yang sedang dalam masa-masa cuti tetap mendapatkan takaran upah harian sesuai penghitungan gaji masing-masing. Hal ini diatur dalam Pasal 84 UU Ketenagakerjaan.
Berikut beberapa jenis cuti yang menjadi hak tenaga kerja di Indonesia.
1. Cuti tahunan
Jumlah hari paling sedikit yang bisa diajukan sebagai cuti adalah 12 (dua belas). Sebagian perusahaan baru memberikan hak cuti setelah pekerjanya telah bekerja selama 12 bulan terus-menerus.
Dengan kata lain, pekerja belum mendapatkan hak cuti pada tahun pertamanya.Hal ini mengikuti ketentuan Pasal 79 Angka 2 UU Ketenagakerjaan.
Namun, ada sebagian perusahaan lain yang memberikan hak cuti penuh kepada pekerjanya walau belum bekerja selama setahun.
2. Cuti sakit
Cuti sakit diberikan khusus kepada pekerja wanita yang tidak bisa bekerja karena mengalami menstruasi, jadi bukan diartikan sebagai dampak dari penyakit yang bisa menimpa pria dan wanita.
Cuti ini dapat diterapkan pada hari pertama dan kedua menstruasi sesuai ketentuan dalam Pasal 81 dan Pasal 93 Angka 2 UU Ketenagakerjaan.
Kebijakan setiap perusahaan bisa berbeda-beda jika berbicara soal persyaratannya. Sebagian meminta surat pengantar dari dokter dan sebagian lainnya tidak. Sama halnya dengan entah penggunaan cuti sakit akan menghabiskan cuti tahunan atau tidak.
3. Cuti melahirkan
Penerapan cuti melahirkan atau cuti bersalin sesuai Pasal 82 UU Ketenagakerjaan adalah 1,5 bulan sebelum HPL dan 1,5 bulan setelah HPL. HPL adalah Hari Perkiraan Lahir yang sebelumnya sudah ditentukan oleh dokter kandungan.
Meski begitu, pekerja wanita yang hamil bisa membuat kesepakatan dengan pihak perusahaan mengenai kapan pengambilan cuti tersebut. Misalnya, cuti melahirkan diambil langsung tiga bulan sejak seminggu sebelum HPL.
4. Cuti besar
Total hari yang menjadi hak cuti besar adalah 60 hari. Cuti besar ini diberikan kepada karyawan yang telah mengabdi di satu perusahaan yang sama selama enam tahun berturut-turut. Pengambilan cuti besar adalah pada tahun ketujuh dan kedelapan seperti berikut ini.
Jumlah Cuti Besar | Tahun Pengambilan Cuti |
30 hari | Tahun ketujuh |
30 hari | Tahun kedelapan |
Total : 60 hari |
Sebagian perusahaan membebaskan pekerjanya terkait penentuan tanggal cuti besarnya. Bisa diambil sekaligus atau terbagi-bagi sesuai tanggal pilihan pribadi melalui prosedur pengajuan secara tertulis.
Perlu diketahui bahwa pada tahun ketujuh dan kedelapan masa abdi, pekerja bersangkutan tidak berhak atas cuti tahunan (12 hari). Cuti tahunan ini didapatkan kembali pada tahun kesembilan dan selanjutnya di perusahaan yang sama.
Pekerja yang sama bisa mendapatkan cuti besar keduanya setelah mengabdi enam tahun kembali, yaitu tahun ke-9 hingga tahun ke-14.
5. Cuti penting
Pekerja yang memiliki momen-momen penting dan merasa wajib menghadirinya dapat mengajukan cuti. Cuti ini didasari oleh adanya halangan bagi pekerja bersangkutan untuk hadir di kantor karena harus hadir di tempat lain. Contoh momen yang dimaksud dapat berupa:
Pekerja yang menjalani masa-masa cuti penting tetap mendapatkan upah harian sesuai takaran penghitungan gaji masing-masing.
6. Cuti bersama
Cuti bersama diberikan dengan merujuk kepada tanggal yang bertepatan hari keagamaan atau dalam sebagian momen lainnya bertepatan dengan peringatan nasional. Misalnya, cuti bersama pada beberapa hari sebelum atau sesudah hari Lebaran atau Natal.
Setiap perusahaan pemberi pekerjaan diwajibkan mengikuti ketentuan yang tertulis di dalam hukum ketenagakerjaan sebagaimana peraturan ini bersifat mengikat bagi segala bentuk instansi resmi yang memanfaatkan tenaga kerja dalam menunjang usahanya.
Setiap tenaga kerja resmi pun mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan sesuai UU yang berlaku.
Dasar hukum perlindungan bagi pekerja
Esensi dari penyusunan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perlindungan bagi setiap tenaga kerja resmi di Indonesia. Resmi di sini berarti tenaga kerja bersangkutan telah menandatangani kontrak yang legal di mata hukum dan menjalani kewajiban sesuai dengan poin-poin yang tertera di dalam kontrak tersebut.
Maksud dari perlindungan ini adalah menjamin hak-hak setiap pekerja/buruh dan memastikan bahwa mereka mendapatkan kesempatan yang sama dengan pekerja lainnya yang setingkat. Selain itu ditujukan untuk melindungi pekerja dari perlakuan diskriminasi apa pun yang dapat membahayakan atau melecehkan dirinya.
Berikut perundang-undangan yang mengatur perlindungan tenaga kerja.
Undang-Undang | Penjelasan |
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 | Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. |
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 | Setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. |
Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 | Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. |
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan | – |
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industiral | – |
Bagaimana jika mengalami perlakuan tidak adil dari atasan?
Sesuai dengan isi Pasal 86 Angka 1 UU Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa:
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
|
Maka dari itu, sewajarnya perlakuan yang tidak adil dari atasan atau pihak lain di dalam pekerjaan tentu harus ditindaklanjuti. Jika tidak, maka dikhawatirkan bahwa keadaan tersebut dapat mengganggu kenyamanan bekerja bagi diri sendiri dan/atau orang lain.
Kita dapat mengajukan pengaduan kepada pihak yang berkepentingan mengurus kebutuhan pekerja, misalnya kepada bagian personalia (HRD) atau serikat pekerja. Meski begitu, ada tata cara yang kita patut ikuti terlebih dahulu, antara lain:
1. Langkah pertama: Bicarakan secara personal
Bicarakan kembali dengan atasan atau orang bersangkutan secara langsung untuk mendapatkan penyelesaian secara kekeluargaan.
2. Langkah kedua: Lembaga bipartit
Jika tidak mencapai solusi, maka disarankan untuk melanjutkan pengaduan kepada lembaga bipartit. Lembaga bipartit adalah instansi yang berperan sebagai penengah dalam kasus perselisihan hubungan industrial.
3. Langkah ketiga: Serikat pekerja
Jika langkah kedua belum bisa memberikan penyelesaian, maka proses pengaduan dapat diserahkan kepada serikat pekerja. Serikat pekerja akan berdialog dengan pihak pengusaha.
4. Langkah keempat: Instansi ketenagakerjaan
Sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan penyelesaian adalah melalui bantuan instansi ketenagakerjaan. Pada penerapannya, pihak instansi akan menawarkan kepada para pihak yang terlibat untuk menyelesaikannya melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrase.
Jika penawaran ini tidak juga ditanggapi dalam waktu tujuh hari, maka instansi ketenagakerjaan akan melimpahkan kasus ini kepada mediator.
Demi menghindarkan terjadinya perselisihan, idealnya pihak pemberi pekerjaan dan pekerja wajib menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku sesuai hukum ketenagakerjaan. Di samping itu, hendaknya penyelesaian perselisihan dapat diselesaikan tanpa harus melibatkan jalur hukum demi menjaga nama baik masing-masing pihak.