Bagaimana Hukum Bekerja di Asuransi? Berikut Ulasannya

hukum bekerja di asuransi

Memiliki asuransi memang bermanfaat untuk melindungi diri dan keluarga dari risiko. Dengan asuransi, kamu akan mendapatkan biaya ganti rugi atas risiko dengan melakukan klaim.

Sayangnya, belum semua masyarakat Indonesia sadar akan pentingnya asuransi. Bahkan sebagian masyarakat masih ada yang mempertanyakan bagaimana hukum asuransi.

Hukum asuransi dalam islam sebenarnya tidak haram selama mengacu pada aturan fatwa MUI dan Al Quran. Selain  hukum asuransi, pertanyaan tentang asuransi lainnya adalah bagaimana hukum bekerja di asuransi?

Berbicara tentang hukum bekerja di asuransi, sebaiknya kamu mengetahui terlebih dahulu tentang aturan dan fatwa yang mengaturnya.

Aspek halal bekerja di asuransi 

Ada yang berpendapat bahwa hukum bekerja di asuransi menurut Islam adalah halal. Pendapat ini terlebih diperkuat oleh adanya asuransi syariah.

Hukum bekerja di asuransi akan menjadi halal apabila memiliki beberapa aspek berikut.

1. Melibatkan kesepakatan di antara kedua belah pihak

Kesepakatan memang pedoman penting dalam setiap asuransi. Namun, secara khusus agar tidak melanggar ketentuan agama Islam, kesepakatan harus benar-benar disepakati bersama dan tidak boleh ada yang dirugikan.

2. Menerapkan prinsip kemaslahatan umat

Kemaslahatan umat sangat penting dalam hidup beragama dan bermasyarakat. Apabila asuransi mengandung prinsip ini, seperti untuk membantu mengatasi musibah sakit atau kecelakaan, maka asuransi dibolehkan.

Kriteria asuransi yang dihalalkan dalam Islam sesuai Fatwa MUI dan Al Quran

Perusahaan asuransi kian berkembang di Indonesia sehingga tidak mengherankan sudah banyak yang bekerja di bidang ini. Hukum bekerja di asuransi dapat diurai dari kriteria asuransi yang dihalalkan dalam islam sesuai fatwa MUI dan Al Quran.

Kriteria yang harus dikedepankan dalam asuransi adalah sebagai berikut:

  • Tidak memasukkan unsur-unsur riba dalam perhitungan premi.
  • Menggunakan akad asuransi yang diperbolehkan dalam Islam.
  • Investasi yang terdapat dalam asuransi tidak mengandung unsur riba, judi, penipuan, dan lain-lain.
  • Perusahaan asuransi syiariah harus menerapkan prinsip syariah dalam menyelenggarakan bisnisnya, bukan sekadar nama.
  • Pengelolaan asuransi hanya dilakukan oleh satu lembaga saja.
  • Besarnya premi dihitung berdasarkan rujukan tabel mortalita untuk asuransi jiwa serta morbidita untuk asuransi umum.
  • Selalu berkonsultasi dan diawasi oleh DPS.
  • Perusahaan asuransi diperbolehkan menerima ujrah dari pengelolaan dana tabarru’ yang disetor nasabah.

Landasan hukum asuransi syariah di Indonesia

Asuransi yang diperbolehkan dalam Islam adalah asuransi yang tidak mengandung unsur riba, judi, dan unsur haram sebagainya. Untuk itu, hukum bekerja di asuransi menurut Islam haruslah sejalan dengan landasan hukum asuransi syariah.

Berikut landasan hukum asuransi syariah di Indonesia.

  • Dasar hukum dalam Al Quran dan Hadist: Al Maidah ayat 2, An Nisaa ayat 9, dan riwayat HR Muslim dari Abu Hurairah.
  • Dasar hukum menurut Fatwa MUI.
    1. Fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
    2. Fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah
    3. Fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
    4. Fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah.
  • Dasar hukum menurut Peraturan Menteri Keuangan: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.

Fatwa MUI tentang asuransi

Hukum asuransi dalam Islam terjawab dengan adanya fatwa MUI tentang Pedoman Asuransi Syariah. Mengacu pada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, berikut rangkumannya.

1. Berpedoman bentuk perlindungan

Asuransi sejatinya memang adalah bentuk perlindungan. Ditegaskan dalam fatwa MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 bahwa, “dalam menyongsong masa depan dan upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini.”

Artinya, untuk mengantisipasi terjadinya risiko, asuransi dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan terhadap harta dan nyawa.

2. Terdapat unsur tolong-menolong

Semua agama pasti mengajarkan sikap tolong-menolong. Fatwa MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 menyebutkan di dalam asuransi syariah terdapat unsur tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah.  

3. Memiliki unsur kebaikan

Ketika telah berpedoman pada unsur tolong-menolong, maka hukum bekerja di asuransi tentu memiliki aspek kebaikan.

Dalam setiap produk asuransi syariah mengandung unsur kebaikan atau istilahnya memiliki akad tabbaru’. Secara harfiah, tabbaru’ dapat diartikan sebagai kebaikan.

Aturannya, jumlah dana premi yang terkumpul disebut hibah yang nantinya akan digunakan untuk kebaikan berupa klaim yang dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

4. Risiko dan keuntungan dirasakan oleh pihak yang bersangkutan

Dalam asuransi yang dikelola dengan prinsip syariah, risiko dan keuntungan dibagi rata kepada orang-orang yang terlibat dalam investasi. Menurut MUI, asuransi hendaknya tidak dilakukan dalam rangka mencari keuntungan komersial.

Dengan demikian, hukum bekerja di asuransi menjadi halal dengan prinsip sama-sama menanggung risiko dan keuntungan ini.

5. Bagian dari bermuamalah

Muamalah adalah bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antarmanusia, contohnya dalam perdagangan.

MUI mengkategorikan asuransi termasuk bagian dari bermuamalah karena melibatkan manusia dalam hubungan finansial. Namun, aturan dan tata caranya harus sesuai dengan syariat Islam.

Apabila menerapkan muamalah, tidak diragukan lagi hukum bekerja di asuransi tidak haram, karena dianggap ikut serta dalam menjalankan perintah agama.

6. Adanya musyawarah asuransi apabila terjadi perselisihan

MUI menegaskan dalam ketentuan berasuransi, jika terjadi perselisihan, maka penyelesaiannya adalah melalui Badan Arbitrase Syariah.

Akad dalam asuransi syariah

Terdapat aturan akad yang digunakan dalam asuransi. Di dalam akad tidak boleh terdapat unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

Untuk mengetahui bagaimana hukum bekerja di asuransi dalam Islam, berikut penjelasan dari sisi akad.

1. Akad Tijarah

Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. Maksud asuransi syariah adalah mudharabah, yakni investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi yang dananya didapat dari dana premi peserta asuransi. 

Hal ini dilakukan guna mendapatkan keuntungan karena dalam asuransi syariah, perusahaan asuransi diwajibkan melakukan investasi.

2. Akad Tabbaru’

Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan hanya untuk tujuan komersial.

Sehingga dana premi yang terkumpul menjadi dana hibah yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Selanjutnya, dana hibah digunakan untuk klaim asuransi bagi peserta yang terkena musibah.

3. Akad Wakalah bil ujrah

Akad Wakalah adalah akad di mana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (upah). 

Sifat akad wakalah adalah amanah, jadi perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai wakil (yang mengelola dana) sehingga perusahaan tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi. 

Selain itu juga tidak ada pengurangan fee yang diterimanya oleh perusahaan, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.

Hukum menjadi agen asuransi yang dihalalkan

Salah satu pekerjaan penting dalam asuransi adalah agen asuransi. Sebagai bidang pekerjaan yang berhubungan langsung dengan nasabah, sering kali agen asuransi harus mencari tahu apa hukumnya untuk membuat suatu kesepakatan atau polis asuransi.

Ada beberapa aturan untuk menjadi agen asuransi yang sesuai syariat Islam, antara lain:

1. Memperhatikan kesepakatan dan kepuasan kedua belah pihak

Tidak ada nash atau dalil yang menjelaskan tentang melarang secara jelas sehingga hukum menjadi agen asuransi diperbolehkan asalkan salah satunya kedua pihak saling sepakat.

Apabila sudah sepakat, maka dilakukan akad dan ijab qobul untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan.

2. Memberikan keuntungan kedua belah pihak

Sebagaimana asuransi berbentuk kerja sama, maka seharusnya penerapannya memberikan hasil yang saling menguntungkan. Keuntungan ini pun harus didapatkan dari jenis dan penerapan bisnis yang halal.

Di lain sisi, hukumnya tidak halal jika hanya salah satu pihak yang diuntungkan dikarenakan adanya ketidakjelasan akad atau pengelolaan dana yang tidak sesuai syariat.

Pilihan asuransi yang sesuai Fatwa MUI

Jika kamu berniat bekerja di perusahaan asuransi namun masih ragu bagaimana hukum bekerja di asuransi, fatwa MUI telah mengakui secara resmi bahwa produk asuransi syariah dinyatakan halal. Tentu saja produk asuransi syariah ini juga harus telah disetujui oleh OJK. 

Berikut beberapa pilihan perusahaan yang bergerak di bidang usaha asuransi syariah.

1. Asuransi Kesehatan Syariah

  • Asuransi kesehatan syariah Takaful Keluarga 
  • Asuransi kesehatan FWD Syariah
  • Asuransi kesehatan JMA Syariah
  • Asuransi kesehatan Prudential Syariah
  • Asuransi kesehatan Syariah Sinarmas MSIG Life
  • Asuransi kesehatan Allianz Syariah
  • Asuransi kesehatan AXA Mandiri Syariah
  • Asuransi kesehatan Syariah Manulife
  • Asuransi kesehatan Syariah BRI Life
  • Asuransi kesehatan BNI Life Syariah

2. Asuransi jiwa Syariah

  • Asuransi jiwa syariah Takaful Keluarga
  • Asuransi jiwa syariah Al Amin 
  • Asuransi jiwa syariah Bumiputera
  • Asuransi jiwa syariah Jasa Mitra Abadi 
  • Asuransi jiwa Prudential Syariah
  • Asuransi jiwa Sinarmas Syariah
  • Asuransi jiwa Allianz Syariah

Kesepakatan dan pengelolaan dana dalam asuransi menurut tata cara agama Islam dapat dijadikan pertimbangan terkait bagaimana hukum bekerja di asuransi.

Untuk asuransi syariah, pertanggungjawaban ini juga harus disampaikan pada MUI yang menjadi pembimbing kaum muslimin di Indonesia.

Selama umat Islam meyakini bahwa asuransi terkait dengan tujuan bermuamalah, dalam hal ini saling tolong-menolong sesama umat dan tidak melibatkan riba maupun perjudian, maka hukum bekerja di asuransi adalah halal.

Kalau kamu punya pertanyaan terkait manfaat asuransi lainnya sekaligus mendapatkan rekomendasi kepada berbagai produk asuransi yang ada di Indonesia, konsultasikan saja di Tanya Lifepal!

Pertanyaan seputar hukum bekerja di asuransi

Hukum bekerja di asuransi adalah halal apabila memiliki beberapa aspek yang sesuai dengan syariat berikut.

  • Pertama, kesepakatan yang dibuat harus disepakati bersama dan tidak boleh ada yang dirugikan.
  • Kedua, prinsip asuransi harus berpedoman pada kemaslahatan umat. Apabila asuransi mengandung prinsip ini, seperti untuk membantu mengatasi musibah sakit atau kecelakaan, maka asuransi dibolehkan.
Asuransi dianggap halal asalkan dana yang terkumpul dikelola berdasarkan syariat Islam. Asuransi syariah adalah salah satu contohnya. Penjelasan ini termuat dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.