3 Jenis Sertifikat Rumah dan Cara untuk Mengurusnya
Ketika memutuskan untuk beli rumah, jangan hanya berfokus pada luas bangunagn, luas tanah, serta cicilan KPR saja. Pasalnya, ada hal gak kalah penting lainnya yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai sertifikat rumah.
Menurut UU No.5 Tahun 1960, sertifikat rumah terbagi menjadi lima jenis sesuai dengan hak-hak nya. Mulai dari hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hingga hak buka tanah.
Cara pengurusannya pun berbeda-beda dan perlu dipahami dengan benar. Tentu kita gak mau dong sudah nabung mati-matian untuk beli rumah, malah terkena risiko penipuan hanya karena kurang teliti dalam memerhatikan sertifikatnya.
Nah, agar terhindar dari risiko yang gak diinginkan, ada baiknya simak informasi jenis-jenis sertifikat rumah dan cara pengurusannya berikut ini!
Jenis-jenis sertifikat rumah
Secara umum sertifikat hunian terbagi menjadi lima jenis, yaitu sertifikat hak milik, sertifikat hak guna bangunan, dan sertifikat hak satuan rumah susun. Seperti ini penjelasannya.
1. Sertifikat Hak Milik (SHM)
Sertifikat hunian ini menjadi bukti kuat kepemilikan seseorang atas rumah. Menurut definisinya, Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah sertifikat rumah yang paling kuat pengaruhnya dibanding lainnya. Kekuatan SHM bakal terlihat saat terjadi sengketa atau persoalan, di mana sertifikat ini secara hukum lebih diuntungkan. Sebab, di mata hukum mereka dinyatakan punya hak atas bangunan dan tanah yang disengketakan.
Hanya saja, cuma orang berstatus Warga Negara Indonesia (WNI) yang berhak memiliki SHM. Ada juga sejumlah keuntungan yang bisa didapat dengan memiliki SHM, yaitu:
Meskipun menjadi jenis sertifikat properti yang terkuat, ternyata SHM tidaklah berguna dalam kondisi, seperti:
2. Sertifikat Hak Guna Bagunan (SHGB)
Berbeda dari SHM, sertifikat rumah yang satu ini gak bikin kita serta merta memiliki kuasa penuh atas rumah yang ditempati. Sebagaimana definisinya, SHGB adalah sertifikat yang memperbolehkan seseorang mendirikan dan menggunakan bangunan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana aturan yang berlaku.
Artinya, jika hanya bermodalkan sertifikat properti ini, pemegang surat hanya memiliki hak untuk menggunakan bangunan sesuai keinginannya. Bukan menjadi bukti kepemilikan si pemegang surat.
Rata-rata usia berlakunya SHGB adalah sekitar 30 tahun. Setelah habis masanya, pemegang surat bisa memperpanjangnya hingga 20 tahun. Namun, tentu saja ada sejumlah biaya yang perlu disiapkan untuk mengurus perpanjangan SHGB ini.
Selain itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari SHGB, seperti yang termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3. Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS)
Lain rumah tapak, lain juga rumah susun. Para penghuni rumah susun tentu saja memiliki Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS).
Alih-alih cuma buat rumah susun, ternyata nih sertifikat rumah ini juga menjadi sertifikat resmi buat beberapa properti lainnya. Mulai dari perkantoran strata title, kios komersial bukan milik pemerintah, apartemen, kondominium, hingga flat.
SHMSRS mudah dikenali dari warnanya. Kalau SHM berwarna hijau, SHMSRS memiliki warna merah muda. Dengan memegang sertifikat ini, itu berarti si pemilik punya hak atas tanah bersama menurut persentasenya.
Beberapa hal yang harus kamu tahu dari sertifikat ini, yaitu:
Cara pengurusan sertifikat rumah
Setelah mengetahui perbedaan jenis-jenis sertifikat rumah, kita juga perlu mengerti cara pengurusannya agar berjalan lancar. Untuk mengurus sertifikat properti ini dapat mengunjungi kantor cabang atau pusat Badan Pertanahan Nasional (BPN) terdekat.
Berikut beberapa prosedur yang perlu dilalui:
Itu tadi tiga sertifikat rumah serta cara pengurusannya yang diatur dalam peraturan pemerintah. Setelah mengetahui kegunaan dari setiap jenis sertifikat di atas, sebaiknya lebih teliti dalam menanyakan kelengkapan sertifikat ketika membeli rumah, ya! (Editor: Winda Destiana Putri).